"You are How You Eat": Refleksi Konsep "Creative Eating" Elizabeth Adler.

 Tell me what you eat, and I will tell you what you are.

                                                                            - Jean Anthelme Brillar-Savarin (1825)

Mungkin banyak yang sudah pernah mendengar kalimat yang biasanya disederhanakan menjadi "you are what you eat" tersebut.  Ada pula yang mengganti ungkapan tersebut menjadi, "you are what you don't eat". Dari kalimat tersebut, seakan-akan jati diri seseorang itu dapat direpresentasikan melalui apa yang ia konsumsi maupun yang tidak dikonsumsi. Namun, bisa jadi orang itu juga dapat direpresentasikan melalui cara makannya (how to eat). 

Tulisan ini terinspirasi dari artikel opini di The New York Times (6 Juli 2004) berjudul, "You are how you eat" ditulis Giuliano Hazan. Di situ Hazan menuliskan korelasi antara cara memasak (how to cook) dengan cara makan (how to eat) bangsa Italia. Hazan mengamati bahwa aktivitas memasak merupakan hal yang sangat sakral, intim, dan komunal. Proses memasak suatu hidangan kadangkala melalui proses yang lama, walaupun hidangannya sesederhana pasta. Namun, di sana, pasta cenderung dimasak dari nol dan tidak menggunakan pasta kering siap pakai. Porsi sajian pastanya pun tidak sebanyak porsi di rumah makan. Ditambah masih banyak orang di Italia yang melakukan perjalanan dengan berjalan kaki dan bersepeda. Banyak pula apartemen-apartemen yang tidak diberi elevator atau lift. Artinya, konsumsi karbohidrat diimbangi dengan aktivitas fisik yang cukup.

Gaya hidup itu ia sandingkan dengan obsesi masyarakat Amerika Serikat yang memandang konsumsi karbohidrat dan gula itu merupakan hal yang kurang baik untuk tubuh. Maka dari itu munculah tren carb-free dan sugar-free yang lekat dengan gaya hidup sehat. Hazan melihat kalau masalahnya itu bukan pada how to cook, tetapi pada how to eat. Porsi makanan berkarbohidrat tinggi dan tinggi gula di Amerika Serikat cenderung lebih besar dan masyarakat di sana cenderung berpola hidup sedentary (minim gerak) sehingga banyak kasus obesitas yang ditemukan. 

Nah, dari artikel Hazan dan beberapa tulisan yang saya baca, proses manipulasi pangan selalu dimulai dari dapur (proses pengolahan dan memasak). Seorang individu dapat bercerita banyak mengenai cara ia memasak dan dari mana kah metode tersebut ia dapatkan. Entah karena faktor kesejarahannya atau preferensi rasa (selera). Lantas, apakah proses manipulasi (memainkan) makanan berhenti di ranah dapur? Artikel Hazan memberi gambaran bahwa how to cook dan how to eat merupakan konstruksi sosial yang luwes dan melalui tulisan ini saya ingin memberi contoh spesifik perihal tata cara makan yang ada disekitar kita melalui konsep creative eating.

Creative eating adalah aktivitas memanipulasi (memainkan) makanan yang tersaji di depan kita (Adler, 1981). Adler mengungkapkan bahwa yang namanya proses memainkan suatu objek memang dimulai sedari masa kanak-kanak kita, namun hal itu tidak berhenti saat kita dewasa. Saat kita kecil, kita disuap dengan sendok yang digerak-gerakkan layaknya pesawat terbang atau kereta api yang masuk ke terowongan. Saat kita dewasa, tentu cara semacam itu sudah dianggap wagu. Akan tetapi, proses memanipulasi makanan tetap dilakukan saat kita dewasa. Adler mengungkapkan bahwa proses memainkan makanan dapat dilihat dari cara seseorang mengidentifikasi komponen makanan dan kemudian membongkar pasang komponen itu.  

Misalnya adanya perdebatan antara tim soto campur atau soto pisah, makan bakso plus kecap atau minus kecap, dan penggunaan sambal serta condiment lainnya. Atau contoh yang paling hangat adalah perdebatan seru bukan maen antara Arief Muhammad dan Zee JKT48 perihal cara makan nasi padang; pakai sendok atau pakai tangan. Perdebatan seru ini pun dikapitalisasi media sehingga menjadi pusaran receh penghasil pundi-pundi cuan yang menghibur ke-gabut-an kelas menengah Indonesia. 

Soto pisah

Daripada terlalu hanyut ke dalam pusaran perdebatan itu, saya coba menjelaskan Oreo yang menjadi contoh dalam artikel Adler. Oreo melakukan praktik kapitalisasi cara makan melalui iklan yang memberikan anjuran modus operandi memakan Oreo yang asyik.  Dalam anjurannya, ada "aturan main" diputar, dijilat, lalu dicelupkan ke dalam susu putih. Namun, ada kalanya konsumen itu tetap ngeyel memilih cara makan yang ia anggap lebih efektif dan asyik. Misalnya, kaum rebel yang lebih memilih memakan biskuitnya daripada krimnya karena dianggap terlalu manis.

Oreo dicelup ke dalam susu

Proses tersebut, menurut Adler, juga berkaitan dengan proses ritualisasi makan. Kalau makan tidak sesuai dengan modus operandi yang kita amini, rasanya kurang sreg. Lantas, aktivitas makan jadi kurang nikmat. Coba bayangkan, di depan Anda ada sajian nasi hangat kemetup dengan ca sayur bayam, berlaukkan satu potong tempe garit goreng dan ayam goreng crispy. Kombinasi seperti apa yang akan Anda susun di sendok? Komponen manakah yang Anda dahulukan? Perlukah ditambahkan sambal dan kerupuk?

Ada orang yang menghabiskan nasi, sayur, dan lauk tempenya terlebih dahulu. Lalu, ayam gorengnya menjadi santapan pamungkas (digado) karena dianggap sebagai komponen yang paling enak. Namun, ada pula yang menyantapnya secara bersamaan dengan skala kecil - sedikit demi sedikit. Setidaknya, dalam satu suapan sendok, semua komponen makanan dapat dipertemukan secara harmonis di dalam mulut.

Nah, ritualisasi makan tersebut sudah terbentuk sesaat setelah kita melihat hidangan yang disajikan di depan kita. Ekspektasi-ekspektasi perihal rasa, tekstur, dan aroma sudah memenuhi isi kepala kita, hingga terasa sampai ke ujung lidah. 

Kadangkala, ada pula narasi-narasi saran penyajian dari penyaji yang menawarkan ritual makan sesuai dengan modus operandi sebagaimana yang dilakukan oleh Oreo dan beberapa juru masak. Selain itu, faktor tata krama masyarakat juga menjadi perhitungan. Misalnya, orang kidal seringkali dicap tidak punya adab karena lebih andal menggunakan tangan kiri saat makan. Selain itu, ada kalanya kita malu bukan main saat tidak mengerti cara menggunakan pisau dan garpu sesuai tata cara makan gaya "Barat". 

Maka dari itu, cara kita makan (how to eat) merepresentasikan posisi kita di dalam masyarakat. Kok bisa? Coba kita lihat kembali ke gagasan Bourdieu soal habitus, yang berarti seseorang itu bertindak berdasarkan life experience yang ia dapat sedari kecil. Namun, sekali lagi perlu dicatat bahwa konsep ini bukan konsep yang determinis karena struktur masyarakat itu tidak hanya mengubah individu, tetapi individu juga dapat mengubah struktur itu (structuring structure). Jadi, cara kita makan merupakan produk pengetahuan yang didapat secara berkelanjutan dan bersifat fleksibel. 

Akan tetapi, yang bikin saya puyeng adalah pletora alasan (anjuran) yang mendorong seseorang untuk mengubah cara makan melalui narasi-narasi yang represif. Misalnya, ada kalanya orang kidal memutuskan untuk berlatih menggunakan tangan kanan supaya cara makannya tidak dikritik. Gempuran makanan internasional pun mengkonstruksi suatu citra cara makan yang "modern". Misalnya, makan menggunakan "tangan kosong" dianggap kuno dan makan menggunakan pisau serta garpu merupakan cara makan yang lebih elegan. 

Pola pikir semacam itu cenderung saling mengkastrasi satu sama lain. Selain itu, upaya  flexing cara makan juga jadi cara seseorang untuk memperjelas distingsi dia dari yang lain. Semakin ekstrim distingsinya, semakin bangganya dia. Jadi, kalau you ingin memperdalam ceruk distingsi sosial, cobalah sesekali makan bubur pakai sumpit, lalu pamerkanlah ke media sosial, dijamin bakal heboh!

-----

Mungkin penjelasan saya soal creative eating belum begitu lengkap, bagaikan pizza tanpa keju yang toppingnya berhamburan berantakan kemana mana. Namun, dari tulisan Adler dan artikel Hazan, saya menemukan bahwa ritualisasi makan merupakan gambaran (gejala) obsesi manusia atas makan(an). Suatu hidangan menjadi objek hasrat yang kita perjuangkan, dipenuhi ekspektasi-ekspektasi kompleks yang dihadirkan tidak hanya oleh si individu, tetapi juga melalui narasi iklan dan narasi kolektif masyarakat. 

Di tulisan ini saya belum dapat membahas banyak perihal makan(an) sebagai objek hasrat karena saya perlu membaca ulang referensi-referensi yang berkaitan dengan itu. Namun, setidaknya tulisan ini dapat menambah wawasan pembaca sekalian, dan mulai menyadari bahwa di balik piring tempat sajian yang kamu makan itu sarat dengan narasi, ekspektasi, dan manipulasi. Selain itu, kembali saya tekankan bahwa retorik yang dilayangkan tidaklah cukup "you are what you eat" dan "you are what you don't eat", tetapi juga "you are how you eat". 


Referensi:

Adler, Elizabeth, M.1981. "Creative Eating, the Oreo Syndrome", Western Folklore, Vol. 40, No. 1.                                     Foodways and Eating Habits: The Directions for Research (Jan., 1981), hal. 4-10.
Bourdieu, Pierre. 1984. Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste. R. Nice (ter.).                                         Cambridge: Harvard University Press
______________. 1986. "The Forms of Capital". Handbook of Theory and Research for the Sociology                                 of  Education. Westport, CT: Greenwood.
Bourdieu, Pierre dan L. Wacquant. 1992. An Invitation to Reflexive Sociology. Cambridge: Polity Press

Referensi Daring:

"You are how you eat", Giuliano Hazan, The New York Times, 6 Juli 2004                              (https://www.nytimes.com/2004/07/06/opinion/you-are-how-you-eat.html). 

https://katasumbar.com/member-jkt48-ini-cari-jodoh-yang-doyan-makan-nasi-padang-berminat/

https://www.intipseleb.com/lokal/55983-sengit-arief-muhammad-dan-zee-jkt48-siap-adu-makan-nasi-padang-dengan-cara-ini

https://mojok.co/terminal/makan-soto-tapi-nasinya-dipisah-itu-mendingan-daripada-makan-soto-tapi-kebanyakan-kecap/

https://lifestyle.okezone.com/read/2017/09/29/298/1785755/okezone-week-end-makan-soto-nasi-dipisah-vs-dicampur-ini-kata-ahli-kuliner-kalau-jawaban-netizen-bikin-ngakak-baper


Sumber gambar:

https://qph.cf2.quoracdn.net/main-qimg-de0d8cb0405e622e1ffe22eb27866ae6-lq

https://img.okezone.com/content/2017/08/14/298/1755856/suka-celupkan-biskuit-ke-dalam-susu-biar-makin-nikmat-ada-hitungan-yang-akurat-loh-DkeosmjK4e.jpg


Komentar

Postingan Populer