Hegemoni Selera dan Cita Rasa

Preambule

Tulisan ini merupakan refleksi atas pengamatan kanal food reviewers yang ngetop di jagat maya Indonesia. Asumsinya, selera dan cita rasa dapat menjadi bentuk dominasi sosial-budaya penguasa. Siapa penguasanya? Gak hanya pemangku kekuasaan formal di pemerintahan dengan kebijakan-kebijakan atau tutur kata konyolnya, tetapi juga para influencer di jagat maya yang memiliki wacana budaya yang sangat powerful.  

Jamuan gaya rijsttafel. ©2015 Merdeka.com/Wikipedia

Sebelum beranjak ke dunia maya, saya hadirkan sumber sejarah dari Fadly Rahman yang mengidentifikasi persebaran selera dan cita rasa nusantara dari masa Hindia-Belanda hingga awal revolusi kemerdekaan Indonesia (buku Rijstaffel (2011) dan Jejak Rasa Nusantara (2016). Dalam kajian-kajiannya, Rahman menuliskan persebaran dan perubahan selera dan cita rasa yang dimulai dari sumber literatur kelas elit (bangsawan Belanda, dan ningrat Jawa). Tulisan Rahman memberi contoh bahwa selera dan cita rasa sangat mudah dialirkan melalui kelas penguasa yang kemudian menghadirkan produk "oplosan" (hibrid) yang memiliki corak yang baru. Akan tetapi kelas subordinate juga menjadi faktor penting dalam kelancaran persebaran selera dan cita rasa. 

Misalnya, gaya makan Rijstaffel yang merupakan budaya makan "kumpeni" yang diadaptasi dari gaya makan pribumi yang menjadikan nasi sebagai sajian utamanya. Dalam gaya makan tersebut, nasi ditemani dengan berbagai macam lauk pauk produk hibrid, yang notabene diperkenalkan oleh para "nyai" atau "babu" yang bekerja di dapur bangsawan Belanda. Lauk pauk tersebut dibawakan oleh para pembantu (babu) satu persatu dengan porsi yang kecil. Yah, kembali lagi ke tulisan saya soal makanan yang menjadi silang sengkarut kenikmatan dan kegelisahan, gaya makan ini menjadi contoh perilaku represif pejabat Belanda atas pribumi yang menghadirkan corak budaya unik yang layak untuk dikaji lebih dalam. Namun, kali ini saya belum mau membahas itu. Saya pengen membahas yang ringan-ringan dulu aja.

Selera, Cita Rasa, dan Reflexivitas Konsumen

Nah, kembali ke jagat maya, medsos dikapitalisasi oleh kelas penguasa untuk menyebarkan wacana selera yang powerful. Apalagi modus operandinya cenderung soft dan subtle, membuat konsumen tidak sadar bahwa dirinya sedang dimanipulasi. Toh, saya berasumsi yang namanya konsumen itu tidak tahu ingin makan apa, yang mereka konsumsi adalah produk-produk yang menawarkan citra-citra berdaya simbolik tertentu, atau pada akhirnya mungkin lidahlah yang menentukan. Kalau enak ya diteruskan, kalau nggak enak ya udah, gak beli lagi.

Merujuk pada konsep reflexivity Pierre Bordieu (1992), konsumen sebenarnya punya fleksibilitas selera, mereka dapat dengan mudahnya berpindah-pindah selera, walau prosesnya kadangkala lama dan selalu mendambakan rasa yang "asli" - rasa yang tidak akan pernah dapat diraih secara utuh. Tapi, perlu disadari bahwa yang namanya referensi selera yang dirasakan di lidah dan mulut merupakan pengetahuan yang amat sangat kaya. Pengetahuan produk kuliner yang didapat dari proses pertemuan dengan sajian-sajian yang amat majemuk. Selera dan cita rasa, maka dari itu adalah pengetahuan kultural yang menubuh dan dimanifestasikan ke dalam tuturan bahasa "enak" atau "tidak enak". 

Namun, seringkali pengetahuan tersebut bersilang sengkurat dengan faktor kesehatan dan konteks ekonomi politik suatu wilayah. Lantas, seseorang yang memiliki perbendaharaan rasa yang amat luas adalah orang yang memiliki privilese tertentu. Entah dia memiliki modal ekonomi yang kuat sehingga memiliki daya beli untuk menjelajah rasa, modal sosial yang beragam sehingga dia bertemu dengan selera-selera yang majemuk, dan modal budaya yang kadangkala dapat membatasi dan/atau memperluas jelajah kulinernya. Lantas, bagaimana kalau orang yang dianggap tidak memiliki privilese tersebut ingin "kenalan" dengan selera dan cita rasa yang baru?

Nah, menariknya, di dunia yang semakin mengglobal ini, lanskap pangan mulai semakin majemuk. Persebaran produk kuliner lintas bangsa semakin mudah karena sifat globalisasi yang semakin borderless.  Jarak sekian puluh ribu kilometer dikurangi menjadi video YouTube selama 10-20 menit. Pengetahuan produk yang "asing" pun semakin banyak ditemukan di Internet. Akses bahan pangan internasional juga semakin banyak ditemukan di lapak daring (e-commerce). Lalu, kita pun jauh lebih mudah mengkreasi suatu produk kuliner luar negeri yang sesuai dengan imajinasi yang diperoleh dari penjelajahan di jagat maya.

Alm. Bondan Winarno dalam acara "Wisata Kuliner" di Trans TV

Konten-konten medsos yang me-review produk kuliner pun membantu menyebarkan selera dan cita rasa melalui sosok influencer yang menjadi pembawa acaranya. Dengan berbagai macam jargon yang mudah diingat, dan enak didengar, membantu penontonnya membayangkan rasa produk yang mereka review. Tren ini sudah lama dimulai sebelum medsos hadir di telapak tangan kita. 

Misalnya, acara "Wisata Kuliner"-nya  mendiang Bondan Winarno dengan jargon "mak..nyuss" -nya, yang tayang di Trans TV sekitar tahun 2008an. Acara televisi tersebut tak jarang menjadi referensi konsumen untuk jajan. Akan tetapi, tidak sedikit pula yang bercerita bahwa tempat yang di-review acara tersebut tidak seenak yang dia kira. Nah, pengalaman ini menjadi contoh bahwa yang namanya selera dan cita rasa itu menjadi sangat personal (subjektif). 

Selera dan cita rasa mungkin dapat secara kolektif diamini melalui perwakilan suatu produk "khas" daerah tertentu. Tetapi, pada akhirnya, yang namanya referensi lidah merupakan produk kesejarahan personal seseorang yang amat sangat menubuh. Soal "enak" atau "tidak enak" bukan menjadi hal yang perlu diributkan. Justru malah menarik untuk didiskusikan lebih lanjut sebagai open-ended question yang merujuk pada pendataan/pengidentifikasi selera. Mengapa rasa makanan/minuman tersebut kok bagi seseorang tidak enak? Apakah ada elemen-elemen tertentu yang memengaruhinya? Kadangkala pertanyaan ini seringkali kurang dijelajah karena faktor keterburu-buruan si pemilik lapak atau si pemasak. Toh, membuat sebuah usaha makan itu mustahil dapat mengakomodasi semua orang. Akhirnya, pilihan masuk akal adalah mengkurasi selera yang paling dominan.

Standar Selera dan Cita Rasa yang Abstrak nan Absurd

Kembali ke influencer kuliner di medsos, kemampuan mereka membuat konten yang menarik membantu melancarkan laju wacana selera dan cita rasa. Secara tidak langsung, mereka dapat menentukan tren melalui konten yang dibuatnya. Kemudian, influencer lain mengikuti, lalu konsumen pun menyadari tren tersebut lalu mencari produknya. Produsen pun setelah mengetahui tren tersebut, mulailah menyediakan produk. Maka dari itu, bagi saya silang sengkarut tren, selera, dan cita rasa merupakan produk standar yang abstrak, absurd, dan inkonsisten, yang dikapitalisasi dan menghegemoni, supaya orang tetap mengkonsumsi dan memproduksi suatu produk.

Landasan standarisasi yang kacau balau tersebut dikuatkan dengan citra-citra yang memberi distingsi antar kelas sosial. Misalnya, kalau kamu minum kopi di Starbucks ada citra modern dan sophisticated, dan kalau kamu minum kopi di warkop manual brew kecil, kamu bercitra sophisticated namun peduli dengan lokalitas. Distingsi-distingsi tersebut bersliweran di medsos melalui flexing produk yang dikonsumsi atau diproduksi yang secara tidak langsung menjajah mata dan pikiran penggunanya. Tidak hanya menguasai ruang publik, ruang maya pun juga dikuasai. Tujuannya apa? Ya...supaya kita tetap beli, beli, dan beli!

Pada akhirnya, sebagaimana yang ditulis di kecap Bango, yang namanya rasa itu tidak pernah bohong. Tetapi, dibalik kekacauan selera dan cita rasa di atas, kita perlu memahami bahwa yang namanya lidah itu inkonsisten. Selalu berubah seiring berjalannya waktu (usia), kondisi kesehatan, dan ekonomi. Artinya, kita memiliki daya agensi sebagai konsumen yang aktif untuk memilih sesuai dengan kapasitas dan kebutuhan kita masing-masing. 

Sebagai catatan, perihal selera dan cita rasa mungkin secuil dari bagian besar yang melandasi mengapa kita jajan. Ada faktor lain yang juga turut memengaruhi keputusan tersebut, faktor ruang (nyaman atau tidaknya tempat tersebut), dan faktor teman tongkrongan yang memiliki daya peer pressure sehingga kita "ngikut" nongkrong dan makan di tempat yang sesuai dengan seleranya. Lalu, solusinya gimana? Ya...gak ada. Intinya nrimo wae dan pengalaman itu dimaknai sebagai pahit manisnya penjelajahan rasa.

Referensi bacaan:

Bourdieu, Pierre. 1986. “The Forms of Capital”. Handbook of Theory and Research for the Sociology                                             of Education. Westport, CT: Greenwood, hal. 241–58
Bourdieu, Pierre dan Louis Wacquant. 1992. An Invitation to Reflexive Sociology
                                        Cambridge: Polity Press
Rahman, Fadly. 2011. Rijsttafel; Budaya Kuliner di Indonesia Masa Kolonial 1870-1942
                                    Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
____________. 2016. Jejak Rasa Nusantara; Sejarah Makanan Indonesia
                                    Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Pietersee, Jan Nederveen. 2006. “Globalization as Hybridization”. Meenakhshi Gigi Durham &                                    Douglas M. Kellner (ed), Media and Cultural Studies: Key Works. Malden: Blackwell                            Publishing.

Sumber gambar:

https://www.merdeka.com/gaya/rijsttafel-kuliner-indonesia-belanda-yang-terlupakan.html

https://www.transtv.co.id/program/episode/5484/wisata-kuliner-hidangan-italia-yang-khas


Komentar

Postingan Populer