Globalisasi Hibrid ala Indomie

Dari Sabang sampai Merauke,
Dari Miangas sampai Pulau Rote,
Indonesia tanah airku,
Indomie seleraku!

                       Cuplikan lirik jingle Indomie

Indomie Goreng

Preambule

Dari secuil lirik jingle tersebut kita dapat melihat adanya rasa optimis bahwa produk Indomie itu dikonsumsi semua kalangan. Nyatanya, iya! Mie instan ini sangat digandrungi semua kalangan, dari anak kecil umbelan hingga para lansia. Bagi para mahasiswa indekos minim bujet, Indomie menjadi pertolongan pertama di kala lapar. Maka, sangat wajar apabila warmindo (warung indomie) di Jogja dipenuh sesaki oleh para pemuja karbo. 

Tapi, dari sekian banyak penikmat, jarang ada orang yang memedulikan seluk-beluk fenomena Indomie ini. Misalnya, kenapa kok Indomie menjadi istilah yang mewakili segala jenis merek mie instan (metonimia)? Nah, sebelum merenungkan pertanyaan itu, saya gelontorkan data yang berkaitan dengan fenomena mie ins(t)an ini.

Dari data WINA (World Instant Noodles Associations), pada tahun 2015, Indonesia duduk di posisi kedua sebagai salah satu negara yang paling banyak mengkonsumsi mie instan, dengan konsumsi mie instan sebanyak 13,2 miliar bungkus dalam setahun. Nomor satu dimenangkan oleh Tiongkok dengan konsumsi mie instan sebanyak 40 miliar bungkus dalam setahun, tiga kali lipat konsumsi Indonesia! Jika penduduk Indonesia kira-kira berjumlah 260 juta jiwa, maka dalam setahun, satu orang dapat mengkonsumsi 51 bungkus mie instan.

Oke, jadi orang Indonesia gemar makan mie instan. Lantas, kenapa kok Indomie jadi metonimia atas semua merek mie instan? Nah, kalau soal itu dapat disandingkan dengan laporan brand footprints  Kantar Worldpanel, dengan judul “10 merek dengan penetrasi terbesar di perkotaan pada tahun 2018”. Dari laporan tersebut, dapat dilihat bahwa  Indomie merupakan merek dengan daya penetrasi terbesar dengan jangkauan 97,5 % konsumen perkotaan. Sebagai pembanding, saingan Indomie, Mie Sedaap, "hanya" mampu menjangkau 87,1% konsumen. Belum lagi persoalan bantuan kemanusiaan yang menjadikan produk Indomie sebagai bantuan makanan andalan. 

Disamping konsumsi Indomie yang masif, saya mengamati belum banyak penikmatnya yang menyadari kompleksitas kehadiran produk Indomie di Indonesia yang sarat dengan silang sengkarut politik pangan Orde Baru. Nah, pada kesempatan ini saya menuliskan sedikit kompleksitas tersebut. Namun, sebelum itu, saya akan menjelaskan konsep globalisasi yang menjadi landasan pemikiran tulisan ini.

Globalisasi

Di satu sisi, konsep globalisasi di media mainstream seringkali dibingkai secara negatif  dan dilihat sebagai ancaman  dari bangsa "asing" yang berpotensi melemahkan ideologi dan moral bangsa. Tapi, di sisi lain, globalisasi juga dibingkai secara positif dan dielu-elukan sebagai harapan bangsa untuk ekonomi yang lebih baik. Menurut Albrow (1990), globalisasi merupakan proses integrasi masyarakat antar bangsa yang membentuk sebuah kesatuan global (masyarakat global). 

Jan Pietersee (1994) juga berpendapat bahwa globalisasi memberi kecenderungan penyeragaman dan standarisasi hubungan antar bangsa melalui kebijakan teknologi, ekonomi, dan referensi-referensi budaya yang bermula dari negara "Barat". Akan tetapi, Pietersee menambahkan bahwa globalisasi itu merupakan proses yang plural. 

Misalnya, dalam ilmu ekonomi, globalisasi dilihat sebagai perluasan pasar dan internasionalisasi ekonomi kapitalis. Dalam aspek hubungan internasional, relasi antarnegara dan perkembangan politik global menjadi fokus utamanya. Dalam kajian budaya, pembahasannya lebih mengarah ke komunikasi global, standarisasi budaya, dan budaya masyarakat pasca kolonial. Di ilmu sejarah, perhatian kajian ada pada "sejarah global"(1994:658). Dari berbagai macam pendekatan disiplin ilmu di atas, Pietersee ingin menjelaskan bahwa globalisasi itu merupakan proses sosial berkelanjutan yang tidak cukup dilihat dari satu perspektif. Maka, globalisasi merupakan proses yang sangat cair dan membuka ruang-ruang hibriditas.

Dalam artikel Doobo Shim (2006), globalisasi dapat dilihat dari konsep cultural imperialism yang dimulai pada tahun 70an. Cultural imperialism memposisikan Amerika Serikat sebagai pelaku globalisasi dan menjadikan "negara ketiga" sebagai subjeknya. Nah, apabila disandingkan dengan posisi globalisasi sebagai perpanjanan modernitas, globalitas menawarkan struktur dan periodisasi demi tumbuh kembang kesejahteraan bangsa (Giddens, 1991). Namun, globalisasi sebagai bentuk modernitas pada akhrinya senada dengan konsep westernization imperialistis yang cenderung tidak membuka ruang kemungkinan yang lain.

Ruang kemungkinan tersebut bisa dijawab melalui konsep globalisasi sebagai proses hibridisasi. Konsep tersebut meminjam perspektif kajian pascakolonial (khususnya gagasan Homi Bhabha) yang melihat aktivitas globalisasi yang tidak melulu berangkat dari pusat, tetapi juga dari pinggir (Kraidy, 2002; Shome dan Hedge, 2002; dari Shim, 2006). Indomie, maka dari itu, dapat menjadi contoh menarik karena produk olahan gandum ini merupakan produk hibrid lintas bangsa. Konsep globalisasi itu juga dapat disandingkan dengan konsep "glokalisasi" George Ritzer (2003). 

Glokalisasi dapat ditarik dari gagasan Roland Robertson (2001) yang memerhatikan relasi keseragaman dan kemajemukan, serta konteks global-lokal (Ritzer, 2003: 192-193).  Glokalisasi, maka dari itu, merupakan cabang dari globalisasi yang menantang keseragaman (imperialisme budaya) dengan kemajemukan budaya (hibrid)  melalui perkawinan budaya "global" dengan budaya "lokal" yang melahirkan produk budaya unik dan relatif baru (Ritzer, 2003: 193). 

Globalisasi Hibrid Indomie

Mie instan pertama kali diperkenalkan oleh Mamofuku Ando, seorang warga Jepang keturunan Taiwan, yang dilatarbelakangi oleh krisis pangan pasca perang dunia kedua. Ando memulai usaha mie instan tersebut dengan nama Nissin yang mereknya juga sering bersliweran di pasar Indonesia. 

Di Indonesia, geliat mie instan dimulai dari Supermi pada tahun 1968 oleh Lima Satu Sankyo (Borsuk, dan Chng, 2014). Menurut Hendri F. Isnaeni, "Lima Satu Sankyo" merupakan hasil kerja sama antara perusahaan Jepang, "Sankuo Shokuhin Kabushiki", dengan perusahaan Indonesia, PT. Lima Satu milik Sjarif Adil Segala, dan Eka Widjaja Moeis. Kerjasama ini merupakan bagian dari program UU No. 1, tahun 1967, terkait dengan kebijakan penanaman modal asing di Indonesia. Dengan hadirnya perusahaan kerjasama tersebut, lapangan kerja baru juga turut terbuka luas.

Kehadiran produksi mie instan di Indonesia menjadi contoh proses globalisasi yang jauh dari konsep tradisional yang selalu mengakar pada peradaban negara "Barat". Terbukanya keran investasi bagi bangsa asing juga menjadi tanda berakhirnya kebijakan presiden Sukarno yang cenderung anti-"Barat", yang dilanjutkan rezim Suharto yang membuka lebar pintu investasi asing ke Indonesia. Pada rezim OrBa ini, mulusnya akses investasi juga dilihat dari kedekatan antek-antek Suharto dengan eksekutif-eksekutif perusahaan internasional.

Hadirnya mie instan juga berkelindan dengan kebijakan politik Suharto dan sentuhan negara Amerika Serikat melalui bantuan pangan pada akhir tahun 1960. Sekitar tahun itu, Indonesia mengalami krisis beras dan A.S. bersedia membantu dalam bentuk gandum mentah (Borsuk dan Chng, 2016). Krisis pangan ini pula yang menelurkan Badan Urusan Logistik (Bulog) pada tahun 1967. 

Bantuan gandum mentah ini kemudian diolah di Singapura karena Indoneisa belum memiliki pabrik pengolahan gandum. Banyaknya gandum mentah yang masuk di Indonesia menimbulkan masalah baru, yakni biaya untuk proses gandum tersebut. Maka, pada tahun 1968, Bogasari Flour Mills didirikan pada tahun 1969 sebagai solusinya. Pabrik pemrosesan gandum tersebut menjadi salah satu perusahaan swasta yang mendongkrak kenaikan ekonomi Indonesia pada masa OrBa (Borsuk dan Chng, 2016).

Pada mulanya Bogasari tidak memproduksi mie instan. Hingga pada saat krisis beraslah, pemerintah OrBa mulai mempromosikan produk olahan gandum sebagai pangan alternatif. Baru pada tahun 1970 Bogasari yang dimiliki Salim Group mulai memproduksi mie instan. Lalu, hadirlah Indomie yang ternyata bukanlah ide dari Salim Group, tetapi dari pebisnis Medan, Djajadi Djaja. 

Djajadi Djaja melalui PT. Sanmaru Food Manufacturing (bagian dari grup Jangkar Jati)  memproduksi mie instan dua tahun setelah Supermi hadir (sekitar tahun 1970an), dengan merek Indomie (perpaduan kata "Indonesia" dan "mie", yang berarti "mie Indonesia. Salim Group memproduksi mie instan dengan merek Sarimi melalui PT. Sarami Asli Jaya pada tahun 1980an.

Produksi mie instan Salim Group mulanya hanya untuk kebutuhan pangan anggota militer dan pegawai negeri sipil supaya jatah beras dapat disalurkan untuk stok pangan rakyat. Namun, pemerintah melalui Bogasari, juga menyebarkan narasi propaganda mengenai keunggulan produk olahan gandum seperti roti dan mie sebagai pengganti beras. 

Usaha propaganda pangan tersebut perwujudan ambisi monopoli pasar mie instan di Indonesia oleh Salim Group (yang dimuluskan pemerintah). Namun pada tahun 1984, Suharto mengklaim bahwa Indonesia telah mencapai target swasembada beras, dan akhirnya Salim Group bekerja sama dengan Djajadi Djaja melalui perusahaan patungan bernama PT. Indofood Interna. Djajadi Djaja memegang saham mayoritas sebesar 57,5 % dan Salim Group memegang 42,5 %. Melalui kerjasama tersebut, Indofood sukses mengakuisisi Supermi dan akhirnya berhasil memonopoli pasar mie instan di Indonesia.

Dari proses hadirnya Indomie tersebut, kita dapat menemukan adanya kelindan politik ekonomi yang hibrid. Sentuhan "Barat" dan "Timur" bercampur aduk melalui poltik pangan (gandum) yang dimuluskan oleh rezim OrBa yang memang membuka keran investasi. Bahkan, ekspansi Indomie di Indonesia berkaitan dengan kebijakan rezim yang mengizinkan Freeport untuk membuka tambang di Papua. 

Melalui tulisan ini, melalui contoh Indomie, dapat dilihat adanya pergeseran dari konsep globalisasi tradisional yang lekat dengan modernisme, ke proses yang lebih majemuk. Persebaran produk dan aktivitas kapital tidak lagi hanya didominasi negara-negara yang dianggap maju, tetapi juga oleh negara-negara yang masih berkembang. Hal ini terjadi karena batas-batas kewilayahan yang sudah semakin samar (borderless). Melalui media suatu budaya semakin mudah berekspansi menjadi bentuk penawaran alternatif atas budaya yang dominan. Tetapi, hal ini bukan berarti mematikan budaya yang sudah ada, tetapi justru saling membaur menjadi produk budaya oplosan yang berwarna.


Referensi bacaan: 


Borsuk, Richard dan Chng, Nancy. 2016. Liem Sioe Liong’s Salim Group, The Business Pillar of Suharto’s Indonesia. Singapura, ISEAS-Yusof Ishak Institute.


Pietersee, Jan Nederveen (2006), “Globalization as Hybridization”, dalam Meenakhshi Gigi Durham & Douglas M. Kellner (eds), Media and Cultural Studies: Key Works, Malden: Blackwell Publishing.


Ritzer, G., & Ryan, M. (2002). “The Globalization of Nothing”. Social Thought & Research, 25(1/2), 51-81. Retrieved March 20, 2021, dari http://www.jstor.org/stable/23250006


Shim, Doobo (2006). “Hybridity and the rise of Korean popular culture in Asia”. Media, Culture and Society, Vol. 28 (1). Sage Publication. DOI:10.1177/0163443706059278

Ritzer, G. 2003. “Rethinking Globalization: Glocalization/Globalization and Nothing/Something”. Sociological Theory 21(3): 193-209.













Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer