Makan itu Nikmat yang Menggelisahkan, dan Kegelisahan yang Nikmat.

Kata Paul Rozin (1999), seorang Psikolog yang memerhatikan perilaku makan, mengungkapkan bahwa makan itu menyenangkan, esensial, menakutkan, dan memiliki implikasi luas. Ungkapan itu saya sederhanakan menjadi aktivitas yang bersilang sengkarut antara kenikmatan (pleasure) dan kegelisahan (anxiety). Perihal menyenangkan dan esensialnya mudah  dibayangkan, tetapi kok ada perkara kegelisahannya? Nah, tulisan ini merupakan hasil refleksi saya atas gagasan tersebut.

Makan dan minum sebagai aktivitas penunjang hidup merupakan fakta tak terbantahkan. Tidak ada yang lebih mengerikan daripada perut yang kosong. Perut kosong (musibah kelaparan) menyadarkan kita bahwa ada kalanya orang rela mengkonsumsi makanan yang dirasa tidak lazim demi keberlangsungan hidup mereka. Lantas, ada kalanya sebuah sajian memiliki aspek acquired taste (dikonsumsi karena lidah sudah familier) yang berkonteks geografis maupun etnografis. 

Misalnya makanan tradisional thiwul di Wonosari, Gunung Kidul, bisa saja dianggap kurang mengenyangkan dan kurang enak bagi sebagian orang yang lebih familier dengan sumber karbohidrat lainnya. Namun, apabila disajikan sebagai kudapan yang dibingkai dalam eksotisme pariwisata daerah, tentu ada orang yang tertarik untuk mencoba. 

Di balik dapur tempat pengolahan thiwul, selain narasi eksotisasi daerah sebagai objek wisata, ada narasi traumatis yang menyebabkan orang harus mengkonsumsi sajian tersebut. Faktor geografis Gunung Kidul yang cenderung kering kerontang tidak ideal bagi petani untuk menanam padi. Sumber pangan utama yang paling masuk akal ya tentu olahan singkong (notabene makanan yang perawatannya tidak seribet padi). Seringkali, narasi traumatis tersebut tidak terlalu disorot, atau, kalaupun disorot, itupun bagi saya kelewat trivial. Lantas, narasi tersebut hanya masuk ke telinga kanan, keluar dari telinga kiri, lalu memuai entah kemana. Minimal jadi konten yang merayakan pengalaman ke-ndeso-an si prosumen. 

Faktor mobilitas ekonomi prosumen kelas menengah juga perlu diperhitungkan. Mereka yang sudah menempati posisi ekonomi mapan, diberi penawaran "plesir" ke masa lampau melalui iklan-iklan wisata. Toh, prosumen yang mencari kuliner tradisional seperti thiwul bisa jadi dipicu perasaan nostalgia yang mencoba kembali diri ke waktu yang sudah hilang; waktu saat ia mlarat dan penuh perjuangan. 

Nah, paragraf di atas merupakan interpretasi sederhana saya atas perkelindanan ruwet yang terjadi di atas piring. Makanan itu esensial, ya karena manusia makan demi keberlangsungan hidup. Menyenangkan, karena makan itu memberi rasa nyaman dan kenikmatan. Menakutkan, karena dibalik itu semua ada pengalaman traumatis yang cenderung direpresi menjadi narasi eksotisme. Makanan berimplikasi luas, karena dapat menjadi pundi-pundi ekonomi dan dapat dilekatkan ke dalam wacana ekonomi politik daerah yang bisa meluweskan penyusunan kebijakan daerah (nyenggol sana dan nyenggol sini) - makan(an) menjadi social affairs yang menumpang tindihkan segala lapisan majemuk masyarakat.

Lantas, apa yang terjadi jika industri pariwisata mencoba jujur kalau narasi eksotisme tersebut merupakan narasi traumatis kolektif masyarakat di suatu objek wisata. Apa tetap ada yang datang?
Apa yang datang akan memaknainya sebagai pleasure atau malah sebagai peziarahan lidah yang sarat dengan kesedihan? Mungkin pertanyaan yang saya buat sendiri ini bakal direfleksikan lain waktu aja. 

Asumsi saya, narasi kemlaratan tersebut kalaupun direalisasikan mungkin akan tetap berasa sungkan dan jatuh ke dalam spiral nostalgia kegamangan. Toh, ketidakpopuleran narasi traumatis tersebut terjadi karena orang mengkonsumsi makanan karena ingin merasakan kenikmatan (pleasure) dalam naungan hiburan pariwisata yang menyenangkan. Artinya, narasi yang terlalu traumatis dapat menjadi batu sandungan narasi industri pariwisata. Sederhananya, ora bakal payu

Mungkin bakal menarik kalau membahas soal perilaku mengkonsumsi objek nostalgia seperti makanan tradisional. Buat materi nulis mendatang aja, ya..  

Sekian dulu, terima kasih sudah membaca 🍴😜. 



Komentar

Postingan Populer