Ngopi #1 : Tongkah Kopi dan Perjuangan Menjembatani Selera

Preambule

Menurut Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Kementrian Pertanian, pada tahun 2016 konsumsi kopi dalam skala nasional tumbuh 10,54% menjadi 276 ribu ton dan diprediksi tumbuh 8,22% tiap tahunnya selama kurun waktu 6 tahun. Sedangkan menurut International Coffee Organization (ICO), dalam kurun waktu 2016-2017 saja, konsumsi kopi di Indonesia cukup membengkak, yakni mencapai 4,6 juta kemasan, dan berada di urutan ke 6 di bawah Rusia. 

Di Yogyakarta misalnya, enam tahun silam, sekitar 2017 terdapat kurang lebih 1.200 warkop, itu pun hanya di wilayah Jalan Kaliurang. Sekarang, dari pengamatan saya pribadi, banyak warkop bermunculan, banyak pula yang tumbang akibat pandemi, ataupun kalah saing dengan warkop bermodal besar dan warkop franchise

Dari obrolan dengan pengelola-pengelola warkop dan barista-baristanya, saya menemukan bahwa bisnis warkop (sebagaimana bisnis food and beverages secara umum) itu adalah bisnis yang sangat rapuh, bermodal besar, dan untungnya lama. Kawan-kawan saya yang mengelola warkop bermodal kecil baru dapat menikmati neraca aman saat menginjak usia 5 tahun. Sebelumnya, nokta merah keuangan menghiasi pembukuan mereka. Di samping data dan kerapuhan itu, lucunya, masih banyak orang yang berminat membuat warkop atau menjadi peracik kopi (barista). 

Ada dua artikel menarik dari Mojok dan howdyindonesia terkait romantisasi profesi peracik kopi. Dari dua artikel tersebut saya menemukan adanya citra rebelious, berdikari, dan sophisticated yang dilekat(-lekatkan) pada profesi tersebut, dan entah mengapa hal itu membuat profesi ini semakin diminati. Padahal, upah seorang peracik kopi itu mengenaskan dan cenderung di bawah UMP. 

Saya pikir masuk akal apabila pekerjaan ini menjadi side hustle seorang pelajar (mahasiswa/i). Tapi kenyataanya, tidak sedikit pula yang menggantungkan nasibnya ke profesi ini sebagai pekerjaan utama.  Memang tidak mustahil, tetapi kudu siap membanting tulang berjuang dengan sekuat tenaga. Nah, melalui tulisan ini, saya menceritakan pengalaman perjuangan anak-anak muda pengelola/barista Tongkah Kopi dengan konsep fields of struggle-nya Pierre Bordieu (1992). 

Akumulasi Kapital Budaya dan Sosial

foto dok. pribadi

Tongkah Kopi didirikan oleh empat pemuda, Edo, Yuan, Barkah, dan Aziz, pada tahun 2017. Pada awalnya mereka ingin menyewa lapak sederhana di dekat pusat kota Jogja, tetapi setelah menimbang-nimbang, mereka pun membuka lapak di rumah keluarganya Edo. Lokasinya ada di Jl. Bardosono, Nglengking, Sendangrejo, Kecamatan Minggir, Sleman, D. I. Yogyakarta. Sekitar 30 menit perjalanan dari pusat kota Jogja, itu pun kalau tidak macet. 

Secara sekilas, rasanya gak masuk akal bikin warkop ala barista (diseduh secara manual menggunakan teknik-teknik khusus) di daerah sana. Siapa sih yang mau berjauh-jauh tempat ngopi di sana? Eeh.. ternyata sekarang weekdays pun mulai ramai. Apalagi pas golden hour, banyak pelanggan datang setelah usai kerja/kuliah menikmati syahdunya senja di Barat kota Jogja.

Modal nekat menjadi pembahasaan yang kerap mereka lontarkan kala ada yang bertanya alasan membuka warkop. Memang mereka memulai dengan modal patungan yang minim untuk membeli perlengkapan pengolahan kopi, dan produk kopinya. Pada tahun pertama, perkara pembukuan keuangan belum begitu mereka perhatikan dan untung ruginya warkop juga belum ditindak lanjuti secara serius, padahal neraca keuangannya cenderung minus. Baru pada tahun 2019, mereka mulai memerhatikan detail-detail keuangan, pemasaran, dan pergudangan demi keberlangsungan warkop ini.

Modal nekat yang mereka lontarkan menjadi bahasa humility yang sebenarnya bernuansa kaya. Di dalam kenekatan tersebut ada dinamika yang membuat geleng-geleng kepala, ada perjalanan pencarian ilmu pengetahuan yang tidak sederhana nan menubuh dan terlihat di setiap laku para individu di sana. Perjalanan menempuh pengetahuan-pengetahuan tersebut dimanifestasikan ke dalam "rumah" yang sarat dengan keramah-tamahan.

Dari pengamatan saya, "rumah" menjadi bentuk objektifikasi kapital budaya yang mereka padukan dengan kapital budaya yang menubuh. Artinya, rumah tempat warkop itu berdiri "disakralkan" menjadi lokus ritual pengalaman (pemaknaan spiritualitas) meminum (dan belajar) kopi. 

Tapi, sebelum itu, apa sih yang dimaksud kapital budaya?

foto dok. pribadi

Sebelum melangkah lebih jauh, kita mundur dulu ke konsep ranah perjuangan (fields of struggle). Pierre Bordieu (1992), sosiolog dari Perancis, menjelaskannya sebagai tempat yang terstruktur dan mengikuti logika kapital yang dominan. Artinya, sebuah ranah tidak akan pernah dapat lepas dari kapital dan agen sosial (aktor) yang berjuang mengidentifikasi kapital apa saja yang perlu digunakan di ranah tersebut. 

Misalnya, mengapa kok di warung makan di Kabupaten Kulon Progo didominasi gaya ndeso lawasan dengan menu rumahan tipikal masyarakat Jawa (Tengah)? Mungkin karena logika di sana merunut pada konteks geografis dan kultural yang masih (di)kental(-kentalkan). Lantas, pengelola warung pun mengikuti logika tersebut. Tapi, bisa saja kedepannya logika ini berubah seiring berjalannya waktu dan pembangunan infrastruktur yang memuluskan akses masyarakat yang memiliki logika kultural yang berbeda.

Nah, kembali ke kapital. Menurut Bordieu, kapital dapat dibagi menjadi empat, kapital ekonomi, sosial, budaya dan simbolis. Kapital ekonomi merupakan kapital yang paling kuat dan paling mudah dikonversikan ke kapital-kapital lainnya (Bordieu dan Wacquant, 1992). Kapital ini tidak hanya berwujud uang, tetapi dapat dikonversikan menjadi barang dan properti. Kapital sosial merupakan kapital yang diperoleh melalui proses berelasi. 

Kapital budaya dapat dibagi menjadi tiga, dalam wujud benda (objectified state) yang dianggap memiliki nilai prestisius, yang didapat dari pengetahuan, ketrampilan hasil belajar dari instistusi formal (institusionalized state), dan dalam bentuk kebiasaan serta pengetahuan yang didapat dari pengalaman hidup serta latihan-latihan non formal (embodied state) (Bourdieu, 1986; Bourdieu dan Wacquant, 1992). Kapital simbolis merupakan kapital yang diperoleh melalui akumulasi kapital-kapital lainnya. Misalnya, orang menikmati ngopi di warkop ala barista dilekatkan dengan citra modern dan kekinian. Sebagai catatan, kapital-kapital tersebut tidak bersifat hierarkis dan berakumulasi sesuai dengan kebutuhan agen sosial dalam menanggapi logika kapital ranah perjuangan yang mereka tempuh. Nah, pada bagian berikutnya, saya jelaskan perkara kapital-kapital yang mereka akumulasi. 

Dari pengamatan saya, tren warkop "pinggir kota" sangatlah berbeda dari yang di "pusat kota". Di pusat kota, mungkin karena kebutuhan akan efisiensi dan kepraktisan, sering ditemukan warkop yang bergaya flow bar, alias warkop yang bergerak cepat. Arsitekturnya cenderung menerapkan gaya modern-brutalism dengan exposed brick dan tembok semen yang tidak dicat, serta dikombinasikan dengan tanaman rambat yang memberikan kesan "menghadirkan hijau kebun di concrete jungle". Saya tidak tahu apakah ini memang tren, atau secara biaya jatuhnya lebih murah. Tapi, memang bagi sebagian orang, termasuk saya juga, gaya bangunan ini memang memiliki charmnya sendiri. Ada kesan kemutakhiran dari kebrutalan desain yang unfinished ini. Ah.. kok malah ngomongin arsitektur, balik ke kopinya, dong!

Nah, lanjut ke kopinya. Tren yang membawa kesan mutakhir itu dikawinkan dengan mesin-mesin kopi yang langsung terpampang di depan bar. Kesan kemutakhiran seakan-akan dilipatgandakan. Apalagi, barista yang berjaga berdandan parlente dan necis (atraktif) yang memberi kesan elegan. Belum lagi beberapa warkop yang memajang varian-varian kopinya beserta "cerita" di balik produk tersebut, seperti asal panennya, jenisnya apa, tone dan rasanya seperti apa. Rasanya akan menjadi "mubazir" kalau ke sana "hanya" membeli kopi susu, atau kerennya disebut latte

Perkara ruang, ilmu pengetahuan produk dan peralatan kopi tersebut merupakan modal budaya yang tidak murah. Pengetahuan produk tersebut tentu dapat diraih melalui kursus bersertifikat, yang seringkali juga terpampang di lapak-lapak warkop pusat kota, atau secara otodidak. Keduanya memerlukan intensitas ketekunan yang sama. Namun, bagi saya, tantangan belajar secara otodidak merupakan cara yang paling sulit. Nah, cara inilah yang diterapkan oleh kawan-kawan Tongkah.

Kawan-kawan Tongkah belajar melalui kunjungan ke warkop tetangga, mengikuti kompetisi (walaupun tidak menang), bereksperimen secara mandiri, dan membaca. Mungkin, hasil produknya secara teknis yang textbook,  berbeda dengan yang berlatih secara formal. Namun, dari yang saya amati, ada kanalisasi embodied culture yang mengalir dari tangan terampil mereka ke cangkir yang saya sruput. Budaya yang menubuh tersebut juga dimanifestasi ke bangunan warkop yang selalu mereka bahasakan sebagai "rumah mungil kami".

Dari yang saya amati dan melalui obrolan yang dilakukan dengan pengelola warkop, terlihat bahwa kebertubuhan tersebut bermula dari cara mereka memaknai kehidupan bermasyarakat sehari-hari. Keempatnya besar di lingkungan yang memiliki nilai bermasyarakat "khas" Jawa (Tengah) yang menjunjung tinggi gotong royong, tepa slira (tenggang rasa), dan keramahtamahan. Lantas, kesadaran kultural ini, saya lihat sebagai kapital yang menjadi aset mereka untuk berusaha membahasakan bahasa teknis kopi manual brew secara lebih sederhana. 

Hal ini terlihat dari cara mereka "menginvestigasi" selera pengunjung yang bingung mau minum apa. Melalui pertanyaan sederhana, "Cari kopi yang bagaimana? Fruity? yang tebel, atau yang tipis?", "Atau mau kopi susu?". Melalui cara ini, pengunjung juga diajak belajar mengenal selera mereka masing-masing. Memang, kadangkala sulit menemukan lingua franca (bahasa bersama) yang dapat mewakili bahasa teknis kopi. Tapi, usaha ini bagi saya layak didukung dan diacungi jempol karena mereka berusaha menjembatani ceruk distingsi yang disebabkan karena hegemoni kopi manual brew "Barat".  Harapan saya, usaha ini mampu meruntuhkan keseganan yang timbul karena keangkuhan barista-barista yang kelewat teknis dalam membahasakan kopi. Toh, selera mereka tidak selalu sesuai dengan selera kita.

Dari identifikasi selera pelanggan, mereka pun berusaha menghasilkan produk yang mengadaptasi cita rasa lokal. Produk tersebut dapat dilihat dari minuman "Bardosono" yang merupakan kopi susu dengan gula aren dan susunya menggunakan susu bercita rasa kelapa muda. Penamaan "Bardosono" mereka ambil dari nama jalan tempat warkop tersebut berada. Selain minuman, tersedia juga menu makanan ringan dan berat, seperti cireng dan mendoan, serta sate jamur dan tongseng jamur yang jamurnya mereka budidaya sendiri. 

Secuil penjelasan perkara kesadaran kultural tersebut menjadi ilustrasi kapital budaya yang menjadi salah satu modal utama penjelajahan mereka. Modal terbesar kedua adalah kapital sosial yang mereka dapatkan melalui proses pertemuan lintas individu dan komunitas yang bergerak di bidang yang sama. Salah satu contohnya, mereka memiliki akses temu dengan beberapa produsen kopi di Jawa Timur dan Jawa Tengah, serta relasi baik dengan roastery (pemanggang kopi) yang berada di daerah Godean. Selain itu, mereka juga menjalin relasi baik dengan pelanggan reguler maupun baru melalui sapaan dan obrolan ringan pencair suasana.

Akrabnya relasi mereka dengan pelanggan menjadi modal yang melancarkan proses pemasaran warkop. Pelanggan yang merasa nyaman di sana pun memiliki rasa memiliki yang membuat mereka tidak sungkan merekomendasikan warkop tersebut ke orang lain. Bahkan banyak pelanggan merasa Tongkah sebagai rumah alternatif mereka.

Penguatan aspek budaya dan sosial tersebut juga menjadi cara untuk bertahan di tengah logika kapital warung daerah Barat Jogja yang fokus ke aspek lokalitas yang lebay. Mereka mencoba melakukan proses identifikasi produk daerah yang dapat mereka implementasikan ke menu. Baik yang kopi, non kopi, maupun makanan. Mayoritas produk, telah diupayakan diperoleh dari seputar wilayah ini. 

Menjembatani Selera

foto Raditya Rakta

Sebagai penutup, ulasan sederhana ini merupakan gambaran untuk pembaca yang mungkin mencari referensi warkop untuk nongkrong, nugas, dan ngide. Dari pengamatan dan njagong dengan pengelola/barista Tongkah, saya melihat bahwa kapital budaya dan sosial menjadi "jalan ninja" mereka untuk mengakali logika warkop manual brew yang kelewat teknis, yang sulit dipahami peminum kopi kasual. 

Melalui bahasa sederhana yang mereka dapat dari pembelajaran otodidak mereka, pelanggan diajak untuk tidak sungkan menikmati kopi sesuai selera mereka. Kurang manis? Tambah gula boleh! Toh, pada akhirnya tidak ada cara yang benar dan salah dalam meminum kopi. Yang ada hanyalah orang yang flexing selera dan ilmu pengetahuan demi memperjelas ceruk distingsi sosialnya.


Referensi:

Bourdieu, Pierre. 1986. “The Forms of Capital”. Handbook of Theory and Research for the Sociology                                            of Education. Westport, CT: Greenwood, hal. 241–58
Bordieu, Pierre dan Louis Wacquant. 1992. An Invitation to Reflexive Sociology
                                        Cambridge: Polity Press

Terima kasih kepada:

Tongkah Kopi: 
Edo, Aziz, Yuan, Barkah, serta Ibuknya Edo







Komentar

Postingan Populer