"Prestige and Cheese": Keju, Imajinasi Modernitas, dan Tren.
Siapa sih yang tidak kenal dengan olahan susu yang kerap kita temui di hidangan Italia? Bayangan kita pasti tertuju pada visual keju lumer mozzarella yang terlihat sensual dan membuat air liur mengumpul di selingkung lidah kita, atau keju yang diparut di atas martabak manis (Terang Bulan) sebagai kawan susu kental manis yang menambah rasa legit dan menambah rasa bersalah ketika setelah usai memakannya. Keju mozzarella yang notabene relatif mahal dan agak sulit dicari pun sekarang dapat disubstitusi dengan keju lumer yang “agak” terjangkau yang dapat dengan mudah ditemukan di minimarket terdekat (misalnya keju Kraft “Quickmelt”).
Tren keju ndledek pun
merambah ke segala jenis hidangan makanan yang pada awalnya tidak berkeju.
Misalnya, ayam geprek lumrahe dimakan begitu saja dengan nasi, sudah
mulai dikombinasikan dengan keju lumer. Selain itu hidangan sayap ayam dengan
cocolan keju pun semakin ngehits, hingga bakso yang isinya pun diberi
keju!
Tentu, kita dapat berargumen hal ini hanyalah tren yang kelak akan surut layaknya tren es kepal Milo, Roti
Bawang Korea, dan donat goreng Indomie. Saya tidak akan menyentuh perkara
sejarah tren keju secara rinci. Namun, pertanyaan mengenai obsesi kita terhadap
keju saya coba letakkan dalam konsep masyarakat konsumsinya Baudrillard (1993, 1998).
Sebelum itu, kita lihat secara sekilas apa itu "masyarakat konsumsi". Bagi Baudrillard (1993) yang namanya mengkonsumsi
itu tidak lagi perkara nilai guna (use value) dan nilai tukar (exchange
value) layaknya gagasan Karl Marx, namun aktivitas mengkonsumsi sudah tidak
memiliki nilai guna (non-utilitarian) (Baudrillard, 1993:68). Orang
membeli makanan bukan lagi karena lapar, namun sebagai bentuk flexing yang
memperjelas ceruk (distingsi) kelas sosial antara ia dengan liyannya. Maka,
yang namanya makan itu bukan lagi mengkonsumsi objek materialnya, namun objek
tanda yang menaungi makanan itu. Yang namanya nilai tanda (sign value) dan nilai
simbolis (symbolic value), yang abstrak dan terkonstruksi, telah menggeser
nilai guna dan nilai tukar. Lantas, suatu objek dimaknai berdasarkan prestige
dan makna simbolisnya.
Nah, sebelum
ngobrol lebih jauh perkara makna simbolis dari keju, kita perlu
mengidentifikasi fungsi keju dalam sebuah hidangan; sebagai “pemanis” atau
memang ada dampaknya ke rasa dan keutuhan hidangan tersebut. Pertama-tama kita lihat
keju dalam proses pembuatan hidangan lasagna. Keju dalam hidangan pasta
tersebut berfungsi sebagai pemersatu rasa antara asam manisnya saus tomat dan bechamel
(saus putih berbahan dasar mentega dan krim atau susu), serta lembaran pasta
lasagna yang menyelimuti saus-saus tersebut. Secara rasa, apabila kita
menggunakan keju mozzarella, maka yang ditemukan adalah sedikit rasa creamy
dari keju tersebut dan rasa asin yang tidak terlalu mendominasi.
Selain mozzarella, ada kalanya lasagna
juga diberi parutan keju parmesan yang memberi kontribusi rasa sedikit rasa
asin dan dan sedikit cita rasa funky (yang saya deskripsikan menjadi
rasa tengik-tengik kecut dan asin) yang didapatkan dari proses
fermentasi keju. Apabila keju parmesan diganti dengan keju cheddar merek Kraft
yang biasa kita temukan di super/minimarket terdekat, rasa asin yang muncul
lebih mendominasi. Lalu, jika keju lumernya menggunakan keju leleh biasa (bukan
mozzarella), maka rasa creamy nya agak tipis, dan asinnya lebih
kuat. Jadi, secara fungsi, saya melihat bahwa keju tersebut meningkatkan
kenikmatan pengalaman makan hidangan tersebut dan membuat hidangan tersebut
menjadi hidangan lasagna seutuhnya, sebagaimana lasagna yang kita
pahami pada umumnya.
Dari pengamatan saya, mayoritas pemanfaatan
keju di hidangan Indonesia cenderung mengarah ke produk makanan kecil dan
kudapan. Hal dapat ditarik dari mayoritas kebiasaan makan orang Indonesia yang
memusatkan sebuah hidangan ke olahan beras. Melahap Pizza, bagi banyak orang di
Indonesia, belumlah dianggap “makan” karena belum mengkonsumsi nasi. Maka dari
itu, cukup sulit untuk mengidentifikasi letak keju dalam hidangan “berat” di
Indonesia. Kalaupun ada, hidangan “berat” yang bermunculan adalah produk-produk
oplosan yang sangatlah “kontemporer”.
Ayam geprek keju |
Setelah melakukan pencarian di Internet, saya
menemukan beberapa hidangan “Indonesia banget” yang dikombinasikan dengan keju.
Misalnya, ada mi instan goreng yang dihidangkan dengan keju lumer maupun keju
parut cheddar bak spageti carbonara, ayam geprek dengan keju lumer,
pisang goreng dengan parutan keju (plus tuangan sirup coklat dan susu kental
manis!), dan nasi goreng dengan keju lumer. Beberapa kawan yang pernah ngicipi
produk-produk tersebut mengatakan ada hidangan yang berhasil menjadi enak dan
ada juga yang nggak berhasil. Namun, perlu dicatat respons semacam ini
berlandaskan preferensi dan selera individu yang jamaknya bukan main.
Indomie goreng keju |
Menariknya, dari hasil pencarian di jagat
maya, saya menemukan dua artikel yang bagi saya bermasalah, “10 Jajanan Tradisional yang Naik Kelas Berkat Keju,
Mana Favoritmu?” dan “9 Makanan Ini Jadi Naik Kelas Berkat Keju, Kamu Suka yang
Mana?”, yang diterbitkan secara daring oleh IDNTimes.com. Dari artikel
tersebut, hidangan-hidangan “Indonesia” yang dikombinasikan
dengan keju dianggap “naik kelas”, dan secara tidak sadar, hidangan non keju
dilihat sebagai produk yang inferior. Dalam perspektif poskolonial, bentuk
oplosan (hibrid) menjadi cara perlawanan kelompok yang tertindas terhadap
kelompok dominan. Dalam metode mengoplos tersebut, kelompok yang tertindas
tersebut menduduki ruang ambang (ruang ketiga) yang menimbulkan ambivalensi.
Keju dalam konteks artikel di atas dapat
disandingkan dengan pemahaman bahwa yang kita konsumsi bukanlah objek sebagai komoditasnya
saja, tetapi juga objek sebagai tanda. Konsumsi objek sebagai tanda menjadi
obsesi kita untuk mengakumulasi hamparan tanda supaya memiliki makna simbolis
yang dikonversi menjadi status prestise. Mungkin prestise dalam kasus ini
bukanlah simbol “kemewahan” dan “modernitas”, tetapi sebagai bentuk
keikutsertaan kita dalam sebuah ritual kolektif di masyarakat konsumsi. Apa
yang terjadi kalau tidak ikut serta? Mungkin ada rasa ketinggalan zaman, dan
merasa “kurang” karena tidak dapat berkontribusi dalam tatanan masyarakat konsumsi.
Namun, pada akhirnya, rasa yang kurang tersebut, menurut saya, menjadi indikasi bahwa kita mengkonsumsi tanda sebagai
proyek aktualisasi diri dan memuaskan hasrat narsisistik kita. Maka dari itu,
baik atau buruknya sebuah hidangan yang dioplos dengan keju itu tidaklah
penting karena semuanya adalah permainan tanda yang direproduksi terus menerus
oleh pemilik modal terbesar. Lantas, selama kita menyadari fakta pahit
tersebut, setidaknya kita menyadari bahwa kita memiliki agensi untuk memilih
sesuai dengan modal yang kita miliki. Modal yang dimaksud bukanlah modal
ekonomi saja, tetapi juga modal kultural, sosial, dan simbolis (Bourdieu, 1984).
Dia yang memiliki akses modal paling banyak,
menjadi orang yang paling mampu mengakumulasi tanda demi mencapai nilai
simbolis (prestise) tertentu. Maka, dia yang mencapai titik prestise yang
dianggap palilng tinggi, perlu menyadari dan mengakui privilege yang
mereka miliki dan orang yang tidak memiliki akses modal yang banyak, juga perlu
menyadari batas-batasannya supaya tidak terperangkap dalam pusaran konsumsi
yang dimainkan kelas privilege yang munafik.
Sebagai penutup, dari perkara tren keju yang dianggap “menaikkan kelas” hidangan “khas” Indonesia, dapat ditemukan silang sengkarut yang diamplifikasi citra-citra di media (sosial) yang dimainkan orang yang ber-privilege (misalnya memiliki kuota internet, dan akses modal ekonomi untuk terus mengkonsumsi). Lanats, apa yang muncul secara organik pun lambat laun juga turut dicaplok individu-individu tersebut. Implikasinya, nilai-nilai sejarah dan kebudayaan yang menaungi suatu produk tertentu semakin buyar termakan citra-citra hasil "curian" dari citra produk tersebut.
Jadi, apa solusinya? Kita harus bagaimana? Ya… mungkin kita memang ditakdirkan untuk terus mengkonsumsi sampai kita mati, dan tidak perlu meratapi citra-citra yang lambat laun mulai buyar termakan postingan influncer yang ber-privilege. Sedih ya? Memang.
Referensi buku dan jurnal:
Baudrilliard,
Jean. 1998 [1970]. The Consumer Society: Myths and Structures. London:
SAGE
Bourdieu, Pierre. 1984, Distinction: A Social
Critique of the Judgement of Taste. R. Nice (ter). Cambridge: Harvard
University Press
___________________.
1986. “The Forms of Capital”. Handbook of Theory and Research for the
Sociology of Education. Westport, CT: Greenwood, hal. 241–58
Haryatmoko. 2016. Membongkar Rezim Kepastian,
Pemikiran kritis post-struktualis. Yogyakarta: Kanisius.
Referensi daring:
Anggra, R. “9 Makanan Ini Jadi Naik Kelas Berkat Keju”. IDNTimes, 26 Juli 2019. https://www.idntimes.com/food/dining-guide/ayu-anggraeni/9-makanan-ini-jadi-naik-kelas-berkat-keju (diakses 17 Juli 2022).
Al
Rahman, Naufal. “10 Jajanan Tradisional yang Naik Kelas Berkat Keju, Mana
Favoritmu?”. IDNTimes, 6 November 2021. https://www.idntimes.com/food/dining-guide/naufal-al-rahman-1/jajanan-tradisional-naik-kelas-berkat-keju?page=all
(diakses 17 Juli 2022).
Atribusi foto:
https://www.freepik.com/free-photo/close-up-melted-cheese-recipe_22894857
Atro
Komentar
Posting Komentar