Gastronomi, Kuliner, dan Kelas Sosial.
Apa sih yang dimaksud dengan "gastronomi"? Apa bedanya dengan "kuliner"? Gastronomi, biasanya dilekatkan pada budaya makan elit (fine-dining) ala “Barat” dan praktik kontemporer atas industri masak seperti molecular-gastronomy. Sedangkan “kuliner” menjadi istilah yang paling digandrungi oleh foodies (tukang jajan) di Indonesia.
Kepopuleran istilah kuliner mungkin dimulai dari acara “Wisata Kuliner” di Trans TV yang ngetop pada tahun 2002 -
2012. Kini, kita dapat melihat bahwa istilah
tersebut kerap bersliweran di media sosial dalam wujud caption, deskripsi maupun nama profil akun, dan tagar sebagai upaya untuk meningkatkan visibilitas konten yang dipublikasi.
Dari situ, saya
melihat bahwa istilah kuliner jadi metonimia yang menaungi segala aktivitas yang berkaitan dengan makanan/minuman. Sedangkan istilah gastronomi merupakan istilah yang lekat
dengan tatanan makan budaya “Barat” yang cenderung kurang familier di telinga
awam. Namun, apa sih pengertian kedua istilah tersebut dari sudut pandang
akademis?
Gastronomi berasal dari kata gastros (lambung atau perut) dan nomos (ilmu atau aturan), maka istilah gastronomi dapat disimpulkan sebagai ilmu/aturan makan yang baik/benar (Ignatov & Smith, 2008). Salah satu tokoh yang mempopulerkannya adalah Jean Anthelme Brillat-Savarin dengan tulisan berjudul Physiologie du Gout (Fisiologi Rasa) yang terbit pada tahun 1825. Buku tersebut berisikan jurnal perjamuan yang dicatat oleh Savarin yang dikaitkan dengan fisiologi lidah.
Jean Anthelme Brillat-Savarin |
Gastronomi, dalam konteks industri makanan dan minuman merujuk pada konsumen yang tidak hanya menikmati produk kuliner dari segi rasa, tetapi juga cerita di balik hidangan, estetika, dan asal muasal bahan-bahan yang digunakannya (Ketaren, 2021). Poin-poin tersebut dapat dilihat sebagai food knowledge (wawasan pangan) yang dapat ditunjukkan melalui kemampuan penilaian atas hidangan yang dia konsumsi (Ketaren, 2021).
Konsep gastronomi, juga perlu
dikaitkan dengan konteks latar belakang sosio-ekonomi seseorang. Orang yang
memiliki privilese ekonomi, maka ia juga memiliki daya jelajah lidah yang lebih
luas. Dia memiliki opsi karena memiliki modal ekonomi yang berlebih. Berbeda
dengan seseseorang yang tidak memiliki privilese yang sama – dia tidak memiliki
opsi sebanyak orang yang bermodal lebih. Dari yang saya amati, perbedaan
perkara opsi ini, lantas ditonjolkan melalui praktik mewacanakan selera dan
cita rasa dalam bentuk referensi. Selera dan cita rasa ini lantas menimbulkan
distingsi atas kelas sosial yang tidak memiliki pengalaman yang sama, atau malah
kadangkala diposisikan dalam dua kubu biner, selera yang baik atau buruk, elit
atau jelata, dan modern atau tradisional. Lantas, apa perbedaanya dengan
istilah “kuliner”?
Kuliner berasal dari istilah dalam bahasa
Latin culinarius, yang memiliki arti dapur, atau hal-hal yang berkaitan
dengan urusan dapur. Kuliner tidak hanya menjelaskan hidangan, tetapi juga
memperhatikan konteks sosial (kewilayahan) suatu hidangan dari cara penyiapan,
penyajian, dan mengkonsumsi (Kivela & Crotts, 2008; Ignatov & Smith,
2008). Argumen lainnya menyebutkan bahwa konsep kuliner lebih memerhatikan
sudut pandang praktisinya (produsen dan praktik produksi). Misalnya, seorang
juru racik kopi (barista) dan seorang juru masak yang berlatih secara formal
maupun otodidak. Sama halnya dengan gastronomi, perkara sosio-ekonomi juga
perlu diperhatikan dalam konteks kuliner. Pergulatan seorang praktisi yang
memiliki modal pendidikan formal tentu berbeda dengan yang berlatih secara
otodidak.
Dari kedua konsep tersebut, kita dapat
melihat perbedaan yang diperlihatkan itu didasari dari perkara perspektifnya.
Gastronomi memerhatikan aktivitas konsumsi, sedangkan kuliner melihat aktivitas
produksi. Namun, pada praktiknya, para tukang jajan di Indonesia lebih
memilih menggunakan istilah kuliner sebagai metonimia (istilah pengganti dan
perwakilan) atas segala aktivitas yang berkaitan dengan makan dan minum.
Dari kedua konsep tersebut, saya juga melihat
adanya batas yang terlalu biner dan terlalu membekukan fleksibilitas seorang
pelaku (konsumsi atau produksi) sebagai agensi. Misalnya, dalam konteks
gastronomi di era yang serba media (baru) ini, konsumen itu tidak hanya
mengkonsumsi tetapi juga memproduksi – yang tentu harus dilihat sebagai
pemahaman yang lebih luas yang lantas disebut sebagai prosumen. Misalnya,
seorang konsumen, selain mengkonsumsi sajian yang dia beli, dia juga
memproduksi informasi melalui narasi pengalaman dia memakan sajian tersebut
(misalnya dalam bentuk food review maupun food critics), yang dia
padukan dengan medium (audio)visual yang dipublikasikan di media sosial.
Informasi berisikan pengetahuan selera dan cita rasa yang dia produksi, lantas
perlu disadari menunjukkan distingsi kelas sosialnya. Latar belakang ini,
menurut saya, menjadi salah satu faktor yang menentukan validitas informasi
cita rasa yang ia bagikan. Informasi yang dianggap valid dan kompeten ini
lantas menjadi referensi bagi prosumen lainnya untuk turut mencoba
Dalam konteks kuliner, saya melihat bahwa
pergulatan yang dialami praktisi kuliner juga perlu diperhatikan. Misalnya, seorang
barista warung kopi (warkop) yang cenderung memiliki daya jelajah lidah yang luas,
dapat memilah-milah secara biner mana kopi yang enak dan yang tidak. Hal ini
tentu menjadi bermasalah apabila dia dipertemukan dengan konsumen kopi memiliki
daya jelajah yang berbeda. Kalau larut dalam sikap esensialis semacam itu, maka
ada kecenderungan mengeliminasi selera ngopi yang dia anggap kurang baik
– maka sikap yang muncul akan cenderung menggurui, menghegemoni, dan bernuansa snobbish.
Pembingkaian selera dan cita rasa tersebut
lantas menjadi nilai yang berharga dalam konteks media sosial karena menjadi
suatu bentuk social currency yang didasari atas privilese prosumen yang
memproduksi selera tersebut. Privilese tersebut dapat berbentuk status dia
sebagai seorang selebritis di dunia maya ataupun tokoh terpandang dalam
masyarakat. Apa yang dia ungkapkan lantas menjadi hal yang (seakan-akan)
diamini secara kolektif. Toh, pada dasarnya, aktivitas berkuliner kita
itu tidak semata-mata terjadi secara mandiri, namun dikonstruksi secara sosial.
Apa yang saya ungkapkan di atas tidak bermaksud mencari posisi yang paling benar ataupun mencari solusi atas keruwetan wacana selera dan cita rasa, tapi sebagai pembacaan kritis atas fenomena gastro-kuliner yang kita temui sehari-hari baik secara luring maupun daring. Lantas, yang perlu diperhatikan secara cermat adalah fakta bahwa aktivitas makan (dan minum) itu sudah melampaui keperluan yang fundamental (kebutuhan biologis) dan lapisan-lapisannya pun sangatlah kompleks. Aktivitas makan (dan minum) telah mencapai tahap bagaimana produk kuliner yang kita konsumsi itu dikonstruksi sebagai bentuk representasi diri kita – baik secara luring maupun daring.
Aktivitas jajan dapat dibingkai dengan ideologi kita dan dapat diposisikan sebagai bentuk perayaan atau perlawanan. Misalnya, gaya hidup vegan yang seringkali dilekat(-lekat)kan dengan gerakan anti kekerasan terhadap hewan atau gerakan yang progresif. Lantas, pelekat(-lekat)an ini dapat dengan mudah diplintir menjadi bahan marketing industri makanan dan minuman – rumah makan, misalnya – untuk memanfaatkan segmen prosumen secara lebih maksimal. Lantas, apa yang harus kita lakukan? Mungkin kita bisa menyadari bahwa kita punya opsi untuk berkata tidak. Tapi, kalau kita nggak bisa ngempet jajan, mungkin cukup meratapi nasib sebagai prosumen yang selalu diplekotho kapitalis saja pun gak masalah.
Referensi bacaan:
Adorno, Theodore W., dan J. M. Bernstein
(ed.). 2001. “The Culture Industry”, selected essay on mass culture.
Routledge
Belasco, Warren. 2008, Food, The Key
Concepts. Oxford: Berg
Bourdieu,
Pierre. 1984, Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste.
R. Nice (ter). Cambridge: Harvard University Press
Bourdieu, Pierre. 1986. “The Forms of
Capital”. Handbook of Theory and Research for the Sociology of Education.
Westport, CT: Greenwood, hal. 241–58
Bordieu, Pierre dan Louis Wacquant.
1992. An
Invitation to Reflexive Sociology. Cambridge: Polity Press
Ignatov, E. & Smith, Stephen. 2006.
“Segmenting Canadian Culinary Tourists”. Current Issues in Tourism, 9:3,
hal. 235-255, http://dx.doi.org/10.2167/cit/229.0
Ketaren, I.
2021. “Gastronomi, Kuliner, dan Aneka Makanan Indonesia”. Prisma Vol.
40, No. 1, 2021, hal. 3-13.
Kivela J. & John C. Crotts. 2005.
“Gastronomy Tourism”. Journal of Culinary Science & Technology,
4:2-3, hal. 39-55, DOI: 10.1300/J385v04n02_03
Linden,
Henrik dan Sarah Linden (2017), Fans and Fan Cultures, Tourism, Consumerism
and Social Media. Palgrave MacMillan.Hal. 116
Atribusi gambar:
<a href="https://www.freepik.com/free-photo/closeup-shot-chef-cooking-with-blurred-background_13291167.htm#query=gastronomy&position=3&from_view=search&track=sph">Image by wirestock</a> on Freepik
http://toutsurlheraldique.blogspot.com/2010/11/noblesse-imperiale-n46.html
Komentar
Posting Komentar