Rasa, Selera, dan Modal Ekonomi dalam Lanskap Pangan (Foodscapes).

Istilah foodscapes merujuk pada gagasan Arjun Appadurai (1990) perihal -scapes dalam beberapa konteks. Konteks ekonomi (financescapes), teknologi (technoscapes), media (mediascapes), etnisitas (ethnoscapes), dan ideologi (ideoscapes).  Konsep tersebut dapat dilihat sebagai implikasi atas fenomena globalisasi yang semakin borderless (tanpa bantas) dimana titik kekuasaan bergeser tidak hanya dimulai dari pusat, tetapi juga dimulai dari pinggiran-pinggiran.

Supermarket dan pasar merupakan contoh foodscapes

Foodscapes, dalam kontek sosiologi, menyoroti ruang retail yang disediakan korporasi makanan internasional (Winston, 2003; Brembeck & Johansson, 2010) dan strategi mereka bertahan dalam gempuran “perlawanan” dari industri kuliner rumahan (UMKM) atau sebaliknya. Torbjörn Bildtgård (2009), seorang ahli etnologi, melihat adanya perkelindanan antara lanskap makanan dengan batas geografis imajiner. Kita sanggup membayangkan suatu lokasi (lanskap) yang lekat dengan makanan yang kita pikirkan, walaupun secara fisik kita belum pernah ke sana.

Konsep tersebut menggambarkan keluwesan pergerakan manusia, material, ide, dan keuangan yang saling tumpang tindih dalam skala global (Brembeck & Johansson, 2010). Konsep -scapes tersebut sering dipergunakan dalam konteks yang berbeda seperti experiencescapes (O’Dell, 2005: 15-19, dari Brembeck & Johansson, 2010) yang diletakkan dalam konteks ruang yang didesain demi kepentingan aktivitas hiburan (leisure) seperti pusat perbelanjaan, museum, stadion olahraga, dan destinasi wisata (O’Dell, 2005; Brembeck & Johansson, 2010). Nah, faktor keluwesan konsep -scapes tersebut juga perlu digarisbawahi, karena lanskap kuliner juga lanskap yang fluid.  Keluwesan tersebut dapat kita amati dari aktivitas dalam konteks dunia digital, Seperti konten media sosial (Instagram, Youtube), dan media konvensional (Acara TV, iklan di TV). Media yang selalu berubah mengikuti tren dan tendensi media yang selalu berkonvergensi, turut mengubah foodscapes kita.

Melalui tulisan ini, konsep foodscapes lebih diarahkan kedalam lanskap gastro-kuliner sehari-hari kita, baik secara luring (rumah, sekolah, kafe, dan warmindo) maupun daring (media sosial, dan kanal Youtube). Kita dapat merujuk pada tren hallyu, renaissance masakan daerah (lokal), dan romantisasi ngopi di warkop sebagai contoh keluwesan lanskap gastro-kuliner yang kita temui sehari-hari. Dari situ saya mencoba mengidentifikasi posisi prosumen dalam belantara lanskap visual gastro-kuliner tersebut.

 Pada tahun 1977, Alexander Cockburn, seorang jurnalis mencetuskan konsep gastroporn yang menggaris bawahi estetikasi (visual) kuliner dari segi warna yang menimbulkan perasaan unattainable (kemustahilan). Jadi, yang disajikan bukan hanya wujud fisik sebuah hidangan, tetapi representasi atas makanan tersebut. 

dok. pribadi

Pentingnya visual dalam konteks makanan dapat ditarik dari Apicius (1936), yang mengungkapkan adanya visual hunger (mata yang lapar). Hal ini berkaitan dengan faktor biologis manusia yang mengidentifikasi makanan berdasarkan visual. Proses identifikasi tersebut ditarik dari awal evolusi manusia yang menerapkan budaya meramban (Spence et al, 2015:53). Manusia memilih bahan makanan menggunakan mata, dengan mengeliminasi mana yang familier dan mana yang tidak. 

Identifikasi berdasarkan visual produk dapat dikaitkan dengan budaya visual bermedsos prosumen. Charles Spence et al (2015) mengkaji relasi visual hunger dengan kepuasan digital. Berangkat dari tingginya tingkat obsesitas, Spence et al. mempertanyakan relasi antara dampak citra makanan yang terlihat enak (yang masuk dalam kategori foodporn atau gastroporn) melalui layar digital, dan juga mempertanyakan apakah citra tersebut menambah nafsu kita untuk makan (visual hunger). Spence et al. menemukan melalui penelitian-penelitian terdahulu bahwa sistem syaraf kognitif partisipan penelitian tersebut menunjukkan reaksi yang jelas atas visual makanan yang disajikan. Syaraf otak partisipan yang memiliki kondisi obesitas (Pursey et al. 2014, dari Spence et al. 2015) cenderung aktif bereaksi saat melihat visual makanan yang tinggi lemak dan karbohidrat daripada visual yang tidak ada kaitannya dengan makanan.

Rayuan visual makanan di Instagram dapat diamati secara seksama melalui fenomena foodporn yang sebenarnya sudah mulai diperbincangkan pada tahun 1979 (McDonnel, 2016) dalam ranah food science. Dalam tulisan yang berjudul right stuff vs foodporn, istilah foodporn dianggap negatif karena faktor kesehatannya, notabene visual foodporn cenderung menekankan pada jenis makanan junkfood. Hal ini juga nyambung dengan tren gastro-porn yang ramai diperbincangkan di ranah juru masak elit (McDonnel, 2016). 

Erin McDonnel (2016) melihat foodporn sebagai ekspresi apresiasi makanan yang sangat personal, khususnya melalui mediasi kamera atau video, yang mendudukkannya sebagai objek hasrat yang seirama dengan hasrat (seksual) seseorang. Apalagi, seseorang dipaksa untuk mengapreasiasi objek makanan tersebut tanpa mencicipinya (unattainability). Maka kita bisa membahasakan foodporn sebagai produksi visual objek makanan yang telah termediasi oleh lensa, yang “menggairahkan”, yang menggoda “iman” dan memaksa kita untuk membayangkan rasa dan tekstur makanan tersebut. Tentunya, yang namanya selera (taste) pada akhirnya selalu berbeda. Tetapi, metode penggugahan selera tersebut kok, terlihat mirip.

Apresiasi makanan melalui lensa smartphone dilihat secara negatif khususnya oleh chef bereputasi. Para chef tersebut melihatnya sebagai aktivitas yang mengganggu sesama pelanggan, dan mengurangi pengalaman makan (McDonnell, 2016).  Sikap chef tersebut dapat didudukkan ke dalam kerangka berpikir Walter Benjamin (2006), perihal reproduksi seni dalam era permesinan. Tetapi menurut Benjamin, kekhawatiran akan kehilangan “aura” masakan menjadi hal yang tidak perlu dipikirkan, karena pada akhirnya, produk hasil reproduksi tersebut justru menawarkan pluralitas “aura” yang baru dan unik.

Di artikelnya, McDonnel (2016) juga mengklasifikasi foto melalui istilah producing pornographic gaze. Pembahasan mengenai cara memproduksi makanan yang menggairahkan melalui hamparan estetika visual yang sangat “sensual”, apalagi dengan kehadiran bahan makanan “eksotis” yang tidak lazim dikonsumsi sehari-hari. McDonnel menggunakan teknik fotografi dalam menghadirkan sensualitas makanan. Misalnya melalui zoom, framing, orientation, dan depth of field. Walau aspek teknis fotografi penting dalam penekanan unsur sensualitas pada sebuah makanan, saya berargumen bahwa ada hal yang lain yang mendorong seseorang menikmati visual tersebut.

Ranteallo dan Andilolo (2017) juga membahas mengenai penggunaan tagar yang sama di dalam jagat media sosial yang lebih luas. Tagar foodporn dan foodgasm dalam kajian ini menjadi cara pengguna membagikan pengalaman kuliner yang dirasa menarik. Sistem tagar tersebut menurut Ranteallo dan Andilolo menjadi bagian kecil dari perputaran promosi wisata kuliner dan pemasaran destinasi pariwisata. Secara sederhana, dalam permainan tagar, seorang pengguna, secara tidak langsung, membantu proses periklanan suatu destinasi maupun produk dengan bayaran kepuasan diri.

Dari gambaran dari beberapa konsep di atas menjadi contoh urgensi visual kuliner dalam bermedia (sosial) yang menyesuaikan dengan konteks sosial masyarakat (viralitas). Tentu kita sudah tahu bahwa foodporn, foodgasm, dan gastro porn bukan hal yang viral di Indonesia. Faktor-faktor yang mendukung viralitas sebuah produk kuliner dapat menjadi sajian diskusi yang menarik di lain hari. Tetapi, yang ingin saya sampaikan bahwa urgensi visual tersebut bukanlah hal yang baru dalam berkuliner, dunia maya merupakan amalgamasi dan perluasan atas realitas tersebut.

        Sebagai contoh, dapat kita lihat dari program food startup Indonesia KemenParekraf (dulu BeKraf) yang memberi ruang kreativitas bagi industri kuliner yang juga didukung oleh PT. Ultima Raksa Akselerasi (ULTRA). Mengutip laman foodstartup Indonesia, “Kemenparekraf/Baparekraf mengkurasi pelaku ekonomi kreatif kuliner dan membuka kesempatan untuk mendapatkan pembiayaan atau permodalan dengan skema pinjaman konvensional/syariah/pembagian laba/pembagian saham”.

Program tersebut secara sederhana ingin membuat ekosistem UMKM yang lebih menguntungkan perajinnya dengan bantuan dana dan sistem mentoring. Sistem mentoring tersebut juga mengubah bagaimana seorang perajin/pegiat kuliner beraktivitas. Tidak hanya perihal aspek produk kulinernya, faktor desain, metode pemasaran, aspek yang mendukung program keberlanjutan sumber daya alam, dan pengenalan jejaring investor.  Tentu, tidak semua dapat berkompetisi dalam naungan program foodstartup karena faktor pemilihan yang cukup ketat.

Selain itu, dalam lingkup yang bermodal besar, tak jarang ada yang mencantumkan narasi sejarah produk yang disandingkan dengan relevansi lokalitasnya. Kalau begini, produk tersebut masuk – menumpang, dalam agenda besar ekonomi pariwisata sebuah daerah/provinsi. Bahkan, pada tahun 2016 sempat booming kue-kue yang menggunakan jasa selebritis Indonesia sebagai brand ambassador nya. Lah ini, menjadi fenomena menarik karena produk-produk ini menarik konsumen dari penggemar selebritis tersebut.

Salah satu produk yang saya amati adalah Jogja Scrummy yang meminjam wajah Dude Harlino dan visual Kota Yogyakarta sebagai daya tariknya. Fenomena ini cenderung dapat dikategorikan sebagai fenomena musiman yang selalu mengalami pasang surut. Faktor surutnya produk tersebut bukanlah perihal ketidakdekatan dengan konteks daerah tersebut, tetapi mungkin karena segmentasi konsumen dan “selera”.

Menurut saya, aktivitas produk kuliner yang kekinian dan program dari pemerintah untuk memajukan industri kuliner supaya lebih kreatif merupakan gagasan yang sangat baik. Tetapi, ada baiknya kalau kita coba refleksikan dengan kutipan Arjun Appadurai yang juga relevan dengan konteks foodscapes. Appadurai mengungkapkan bahwa sebuah hidangan makanan itu merupakan representasi kolektif realitas sosial yang dipadatkan dalam suatu hidangan. Kutipan tersebut relevan dengan konteks di Indonesia yang produk-produk kulinernya sarat dengan pengaruh berbagai macam bangsa, entah melalui bangsa Tionghoa, Belanda, India, dan Portugis atau lebih modern lagi melalui hadirnya rumah makan waralaba cepat saji, serta gempuran gelombang makanan Jejepangan dan Korea Selatan.

Walau realitas sosial melalui konteks -scapes adalah realitas yang kerap berubah, menariknya ada kalanya sentimen yang sifatnya primordial (kesukuan) tetap ada. Misalnya, ada orang minang yang tidak begitu sreg dengan makanan padang di Jogja karena rendangnya itu bukanlah rendang “beneran”, atau kalau cari Nasi Pecel di Jogja dijamin gak ada yang enak. Ada pula stereotipe yang muncul dari generalisasi selera daerah, misalnya bahwa orang Jawa pasti suka makanan manis, dan arek Surabaya seneng yang asin dan pedes.  Kita juga dapat berkaca pada kontroversi rendang yang kurang “crispy” di acara kompetisi masak di Inggris pada tahun 2018, atau fenomena yang paling baru, dapat dilihat dari kontroversi memasak nasi BBC Food yang dikomentari oleh komedian dengan nama Nigel Ng yang menggunakan alter ego “Uncle Roger” di Youtube.

Maka dari itu, walau presentasi (design, narasi, dll) sebuah produk dibuat sedemikian rupa indahnya, “lidah” lah yang tetap menentukan. “Lidah” dalam konteks ini saya perluas tidak hanya perihal rasa tetapi juga apa yang terjadi di dalam pikiran kita (entah kedekatan emosional atau apalah), yang mungkin terwakilkan dengan istilah taste (selera). Katanya iklan sebuah kecap, kalau yang namanya rasa itu tidak pernah bohong. Mungkin benar, tapi, menurut saya, yang namanya selera (taste) itu adalah produk pengalaman (pengetahuan) “lidah”. Rasa yang enak adalah keniscayaan, tetapi selera adalah hal yang sangat berbeda. Maka dari itu, selera kita pun, jangan-jangan, dipengaruhi pula oleh foodscape yang kita duduki. Tidak hanya aliran yang bemula dari petani, produsen, dan penjual serta kapital yang menaungi, tetapi dalam lingkup yang lebih mikro, yakni rumah tangga – atau dengan siapa kita bergaul.

Apa yang kita suka, mungkin ada kaitannya dengan pengalaman “rumah” – habitus dalam perspektif Bourdieu. Walaupun begitu, Bourdieu juga mengungkapkan, orang itu juga punya modal reflexivity, yakni kesanggupan seseorang individu dalam berpindah posisi. Misalnya, seorang guru yang dapat memposisikan dirinya sebagai guru dan partner diskusi di kelas, dan apabila setelah usai jam sekolah, dia dapat menempatkan diri sebagai seorang teman curhat muridnya. Demikian juga dengan seorang penikmat kuliner, yang bisa menikmati segala macam makanan. Tentu, dibalik reflexivitas tersebut ada privilese berupa kemudahan akses – yang dipermudah oleh modal ekonomi, atau modal sosial. Kedua modal tersebut memupuk subur modal budaya yang berupa selera. Selera ini lantas sering dipakai sebagai bentuk distingsi seseorang, alias memperkuat dominasinya atas kelas sosial yang lain.

Ruang pun dalam perspektif Bourdieusian bukan menjadi hal yang determinis, tetapi faktor agensi seseorang juga dapat membentuk ruang. Jadi pertanyaanya antara bagaimana sebuah struktur (ruang) membentuk seseorang, dan bagaimana seseorang membentuk struktur (ruang). Misalnya, banyakya toko oleh-oleh di kawasan pariwisata, tentu memengaruhi cara mengkonsumsi wisatawannya. Bisa jadi karena dominasi toko oleh2 tersebut, tempat2 yang biasanya menjual jajanan tradisional agak tertinggalkan. Hadirnya rumah makan cepat saji yang terjangkau seperti Rocket Chicken di sekitar Jl Godean pun, mengubah pola konsumsi masyarakat.

Sebagai catatan penutup, sah-sah saja apabila kita tidak turut menikmati kudapan tertentu, tetapi setidaknya kita dapat melatih rasa penasaran kita atas signifikansi artefak kebudayaan tersebut bagi orang yang mengkonsumsi, mengolahnya, dan menjualnya. Klaim jajanan tradisional kalah pamor dengan jajanan “modern” mungkin dapat sedikit kita patahkan karena klaim tersebut cenderung berkaca dari kondisi masyarakat di kota besar seperti Jakarta. Mungkin, memang jajanan tradisional agak sulit bersaing dalam konteks perkotaan besar tersebut, tetapi dalam konteks mikro – rumah tangga dan pasar, jajanan pasar tradisional masih ada. Ada baiknya pula apabila pelaku industri kuliner UMKM dibantu oleh kemenparekraf dalam merintis produknya supaya cakupannya lebih luas.

Kesadaran atas lanskap makanan/kuliner menjadi modal utama bagi kita, yang saya asumsikan sebagai foodies, untuk memperluas pengetahuan kita. “Mengkonsumsi” itu tidak hanya melihat dan memakan makanannya saja, tetapi juga cerita yang menaunginya, kapital yang bermain, sistem distribusi informasinya (melalui iklan apa? Apakah penjualannya memanfaatkan medsos? Dijual di marketplace daring atau luring?). Maka, masuk akal apabila salah satu poin yang menjadi bahan mentoring di program foodstartup Indonesia adalah desain kemasan. Semakin menarik desain kemasannya, semakin pas untuk dibeli sebagai buah tangan.

Permasalahannya, sosok kapital ini lah yang kadangkala memainkan narasi yang memuat corak tradisional yang lekat dengan identitas sebuah daerah, padahal tidak ada kaitannya dengan daerah tersebut. Tidak ada masalah apabila narasi tersebut hadir secara organik sebagaimana yang terjadi dengan produk kudapan seperti bakpia, bolu, dan onde-onde. Hal yang membuat geli adalah strategi yang “meminjam” narasi daerah – atau malah bangsa - lain sebagai strategi pemasaran. Asal ada modal ekonomi, seakan-akan sah-sah saja untuk melekat(-lekat)kan bayang(-bayang)an identitas daerah tertentu.



Referensi bacaan:

Appadurai, Arjun (1981), “Gastro-politics in Hindu South Asia”.

Appadurai, Arjun (1990), “Disjuncture and Difference in the Global Cultural Economy”, Theory Culture Society, DOI: 10.1177/026327690007002017

Appadurai, Arjun (1996). Modernity at Large, Cultural Dimension of Globalization. Public Worlds, Volume 1, University of Minnesota Press

Apicius, (1936). Cooking and dining in Imperial Rome (c. 1st Century; J. D. Vehling, Trans.). Chicago, IL: Springer

Benjamin, Walter. 2006, “The Work of Arts in the Age of Mechanical Reproduction”, Kellner, Douglas & Meenakshi Durham (ed), Media and Cultural Studies. Oxford: Blackwell Publisher (Chapter 3)

Bildtgård, Torbjörn (2009), “Mental Foodscapes: Where Swedes Would go to Eat Well (and Places they Would Avoid)”, Food, Culture & Society, 12:4, 498–523.

Brembeck, Helene & Barbro Johansson: “Foodscapes and Children’s Bodies”, Culture Unbound, Volume 2, 2010: 797–818. Hosted by Linköping University Electronic Press: http://www.cultureunbound.ep.liu.se

Bourdieu, Pierre (1986). “The Forms of Capital”. Handbook of Theory and Research for the Sociology of Education. Westport, CT: Greenwood, hal. 241–58

Bourdieu, Pierre dan Louis Wacquant (1992). An Invitation to Reflexive Sociology. Cambridge: Polity Press

MacKendrick, Norah (2014). “Foodscape”, Contexts, Vol. 13, No. 3, 2014: hal. 16-18, https://journals.sagepub.com/doi/pdf/10.1177/1536504214545754

McDonnel, Erin, M. 2016. “Food Porn: The Conspicuous Consumption of Food in the Age of Digital Reproduction”, Peri Bradley (ed), Food, Media, and Contemporary Culture, The Edible Image, hal. 239-265, New York, Palgrave MacMillan.

Ranteallo, I.C dan I.R Andilolo. 2017. Food Representation and Media: Experiencing Culinary Tourism Through Foodgasm and Foodporn. Diambil dari Balancing Development and Sustainability in Tourism Destinations, Springer Science+Business Media Singapore, DOI 10.1007/978-981-10-1718-6_13

Schirato, Tony & Jen Webb (2002). “Bourdieu’s Notion of Reflexive Knowledge”. Social Semiotics, Vol. 12, No. 3, hal. 255-268, DOI: 10.1080/10350330216373

Swartz, David (1997). Culture and Power: The Sociology of Pierre Bourdieu. Chicago: The Chicago University Press.

Spence, Charles, et at. 2016. “Eating with Our Eyes; From visual hunger to digital satiation”, Brain and Cognition Vol. 110, hal. 53-63. https://doi.org/10.1016/j.bandc.2015.08.006

https://www.bbc.com/travel/article/20180610-how-an-outrage-over-crispy-chicken-united-south-east-asia, diakses 10 September 2021

Atribusi foto:

https://www.freepik.com/free-photo/good-looking-woman-standing-front-vegetable-shelves choosing-what-buy_11450434.htm

Komentar

Postingan Populer