Rasa, Selera, dan Modal Ekonomi dalam Lanskap Pangan (Foodscapes).
Foodscapes, dalam kontek sosiologi, menyoroti ruang retail yang disediakan korporasi makanan internasional (Winston, 2003; Brembeck & Johansson, 2010) dan strategi mereka bertahan dalam gempuran “perlawanan” dari industri kuliner rumahan (UMKM) atau sebaliknya. Torbjörn Bildtgård (2009), seorang ahli etnologi, melihat adanya perkelindanan antara lanskap makanan dengan batas geografis imajiner. Kita sanggup membayangkan suatu lokasi (lanskap) yang lekat dengan makanan yang kita pikirkan, walaupun secara fisik kita belum pernah ke sana.
Konsep tersebut menggambarkan keluwesan pergerakan manusia, material, ide, dan keuangan yang saling tumpang tindih dalam skala global (Brembeck & Johansson, 2010). Konsep -scapes tersebut sering dipergunakan dalam konteks yang berbeda seperti experiencescapes (O’Dell, 2005: 15-19, dari Brembeck & Johansson, 2010) yang diletakkan dalam konteks ruang yang didesain demi kepentingan aktivitas hiburan (leisure) seperti pusat perbelanjaan, museum, stadion olahraga, dan destinasi wisata (O’Dell, 2005; Brembeck & Johansson, 2010). Nah, faktor keluwesan konsep -scapes tersebut juga perlu digarisbawahi, karena lanskap kuliner juga lanskap yang fluid. Keluwesan tersebut dapat kita amati dari aktivitas dalam konteks dunia digital, Seperti konten media sosial (Instagram, Youtube), dan media konvensional (Acara TV, iklan di TV). Media yang selalu berubah mengikuti tren dan tendensi media yang selalu berkonvergensi, turut mengubah foodscapes kita.
Melalui tulisan ini, konsep foodscapes lebih diarahkan kedalam lanskap gastro-kuliner sehari-hari kita, baik secara luring (rumah, sekolah, kafe, dan warmindo) maupun daring (media sosial, dan kanal Youtube). Kita dapat merujuk pada tren hallyu, renaissance masakan daerah (lokal), dan romantisasi ngopi di warkop sebagai contoh keluwesan lanskap gastro-kuliner yang kita temui sehari-hari. Dari situ saya mencoba mengidentifikasi posisi prosumen dalam belantara lanskap visual gastro-kuliner tersebut.
Pada tahun 1977, Alexander Cockburn, seorang jurnalis mencetuskan konsep gastroporn yang menggaris bawahi estetikasi (visual) kuliner dari segi warna yang menimbulkan perasaan unattainable (kemustahilan). Jadi, yang disajikan bukan hanya wujud fisik sebuah hidangan, tetapi representasi atas makanan tersebut.
dok. pribadi |
Pentingnya visual dalam konteks makanan dapat ditarik dari Apicius (1936), yang mengungkapkan adanya visual hunger (mata yang lapar). Hal ini berkaitan dengan faktor biologis manusia yang mengidentifikasi makanan berdasarkan visual. Proses identifikasi tersebut ditarik dari awal evolusi manusia yang menerapkan budaya meramban (Spence et al, 2015:53). Manusia memilih bahan makanan menggunakan mata, dengan mengeliminasi mana yang familier dan mana yang tidak.
Identifikasi berdasarkan visual produk dapat dikaitkan dengan budaya visual bermedsos prosumen. Charles Spence et al (2015) mengkaji relasi visual hunger dengan kepuasan digital. Berangkat dari tingginya tingkat obsesitas, Spence et al. mempertanyakan relasi antara dampak citra makanan yang terlihat enak (yang masuk dalam kategori foodporn atau gastroporn) melalui layar digital, dan juga mempertanyakan apakah citra tersebut menambah nafsu kita untuk makan (visual hunger). Spence et al. menemukan melalui penelitian-penelitian terdahulu bahwa sistem syaraf kognitif partisipan penelitian tersebut menunjukkan reaksi yang jelas atas visual makanan yang disajikan. Syaraf otak partisipan yang memiliki kondisi obesitas (Pursey et al. 2014, dari Spence et al. 2015) cenderung aktif bereaksi saat melihat visual makanan yang tinggi lemak dan karbohidrat daripada visual yang tidak ada kaitannya dengan makanan.
Rayuan visual makanan di Instagram dapat
diamati secara seksama melalui fenomena foodporn yang
sebenarnya sudah mulai diperbincangkan pada tahun 1979 (McDonnel, 2016) dalam
ranah food science. Dalam tulisan yang berjudul right stuff vs
foodporn, istilah foodporn dianggap negatif karena faktor
kesehatannya, notabene visual foodporn cenderung menekankan pada jenis makanan junkfood. Hal ini juga nyambung dengan tren gastro-porn yang ramai diperbincangkan di ranah
juru masak elit (McDonnel, 2016).
Erin McDonnel (2016) melihat foodporn
sebagai ekspresi apresiasi makanan yang sangat personal, khususnya melalui
mediasi kamera atau video, yang mendudukkannya sebagai objek hasrat yang seirama
dengan hasrat (seksual) seseorang. Apalagi, seseorang dipaksa untuk
mengapreasiasi objek makanan tersebut tanpa mencicipinya (unattainability).
Maka kita bisa membahasakan foodporn sebagai produksi visual objek
makanan yang telah termediasi oleh lensa, yang “menggairahkan”, yang menggoda
“iman” dan memaksa kita untuk membayangkan rasa dan tekstur makanan
tersebut. Tentunya, yang namanya selera (taste) pada akhirnya selalu berbeda. Tetapi, metode penggugahan selera tersebut kok, terlihat mirip.
Apresiasi makanan melalui lensa smartphone dilihat secara negatif khususnya oleh chef bereputasi. Para chef tersebut melihatnya
sebagai aktivitas yang mengganggu sesama pelanggan, dan mengurangi pengalaman
makan (McDonnell, 2016). Sikap chef tersebut dapat didudukkan
ke dalam kerangka berpikir Walter Benjamin (2006), perihal reproduksi seni
dalam era permesinan. Tetapi menurut Benjamin, kekhawatiran akan kehilangan
“aura” masakan menjadi hal yang tidak perlu dipikirkan, karena pada akhirnya,
produk hasil reproduksi tersebut justru menawarkan pluralitas “aura” yang baru
dan unik.
Di artikelnya, McDonnel (2016) juga
mengklasifikasi foto melalui istilah producing pornographic gaze.
Pembahasan mengenai cara memproduksi makanan yang menggairahkan melalui
hamparan estetika visual yang sangat “sensual”, apalagi dengan kehadiran bahan
makanan “eksotis” yang tidak lazim dikonsumsi sehari-hari. McDonnel menggunakan
teknik fotografi dalam menghadirkan sensualitas makanan. Misalnya melalui
zoom, framing, orientation, dan depth of field. Walau aspek
teknis fotografi penting dalam penekanan unsur sensualitas pada sebuah makanan,
saya berargumen bahwa ada hal yang lain yang mendorong seseorang menikmati
visual tersebut.
Ranteallo dan Andilolo (2017) juga membahas
mengenai penggunaan tagar yang sama di dalam jagat media sosial yang lebih
luas. Tagar foodporn dan foodgasm dalam kajian ini menjadi cara
pengguna membagikan pengalaman kuliner yang dirasa menarik. Sistem tagar
tersebut menurut Ranteallo dan Andilolo menjadi bagian kecil dari perputaran
promosi wisata kuliner dan pemasaran destinasi pariwisata. Secara sederhana,
dalam permainan tagar, seorang pengguna, secara tidak langsung, membantu proses
periklanan suatu destinasi maupun produk dengan bayaran kepuasan diri.
Dari gambaran dari beberapa konsep di atas menjadi contoh
urgensi visual kuliner dalam bermedia (sosial) yang menyesuaikan dengan konteks
sosial masyarakat (viralitas). Tentu kita sudah tahu bahwa foodporn,
foodgasm, dan gastro porn bukan hal yang viral di Indonesia. Faktor-faktor
yang mendukung viralitas sebuah produk kuliner dapat menjadi sajian diskusi
yang menarik di lain hari. Tetapi, yang ingin saya sampaikan bahwa urgensi
visual tersebut bukanlah hal yang baru dalam berkuliner, dunia maya merupakan
amalgamasi dan perluasan atas realitas tersebut.
Sebagai contoh, dapat kita lihat dari program food startup
Indonesia KemenParekraf (dulu BeKraf) yang memberi ruang kreativitas bagi industri
kuliner yang juga didukung oleh PT. Ultima Raksa Akselerasi (ULTRA). Mengutip
laman foodstartup Indonesia, “Kemenparekraf/Baparekraf mengkurasi
pelaku ekonomi kreatif kuliner dan membuka kesempatan untuk mendapatkan
pembiayaan atau permodalan dengan skema pinjaman konvensional/syariah/pembagian laba/pembagian saham”.
Program tersebut secara sederhana ingin
membuat ekosistem UMKM yang lebih menguntungkan perajinnya dengan bantuan dana
dan sistem mentoring. Sistem mentoring tersebut juga mengubah
bagaimana seorang perajin/pegiat kuliner beraktivitas. Tidak hanya perihal
aspek produk kulinernya, faktor desain, metode pemasaran, aspek yang mendukung
program keberlanjutan sumber daya alam, dan pengenalan jejaring investor. Tentu, tidak semua dapat berkompetisi dalam
naungan program foodstartup karena faktor pemilihan yang cukup ketat.
Selain itu, dalam lingkup yang bermodal
besar, tak jarang ada yang mencantumkan narasi sejarah produk yang disandingkan
dengan relevansi lokalitasnya. Kalau begini, produk tersebut masuk – menumpang,
dalam agenda besar ekonomi pariwisata sebuah daerah/provinsi. Bahkan, pada
tahun 2016 sempat booming kue-kue yang menggunakan jasa selebritis
Indonesia sebagai brand ambassador nya. Lah ini, menjadi fenomena
menarik karena produk-produk ini menarik konsumen dari penggemar selebritis
tersebut.
Salah satu produk yang saya amati adalah Jogja
Scrummy yang meminjam wajah Dude Harlino dan visual Kota Yogyakarta sebagai
daya tariknya. Fenomena ini cenderung dapat dikategorikan sebagai fenomena
musiman yang selalu mengalami pasang surut. Faktor surutnya produk tersebut
bukanlah perihal ketidakdekatan dengan konteks daerah tersebut, tetapi mungkin
karena segmentasi konsumen dan “selera”.
Menurut saya, aktivitas produk kuliner yang
kekinian dan program dari pemerintah untuk memajukan industri kuliner supaya
lebih kreatif merupakan gagasan yang sangat baik. Tetapi, ada baiknya kalau
kita coba refleksikan dengan kutipan Arjun Appadurai yang juga relevan dengan
konteks foodscapes. Appadurai mengungkapkan bahwa sebuah hidangan
makanan itu merupakan representasi kolektif realitas sosial yang dipadatkan
dalam suatu hidangan. Kutipan tersebut relevan dengan konteks di Indonesia yang
produk-produk kulinernya sarat dengan pengaruh berbagai macam bangsa, entah
melalui bangsa Tionghoa, Belanda, India, dan Portugis atau lebih modern lagi
melalui hadirnya rumah makan waralaba cepat saji, serta gempuran gelombang
makanan Jejepangan dan Korea Selatan.
Walau realitas sosial melalui konteks -scapes
adalah realitas yang kerap berubah, menariknya ada kalanya sentimen yang
sifatnya primordial (kesukuan) tetap ada. Misalnya, ada orang minang yang tidak
begitu sreg dengan makanan padang di Jogja karena rendangnya itu bukanlah
rendang “beneran”, atau kalau cari Nasi Pecel di Jogja dijamin gak ada yang
enak. Ada pula stereotipe yang muncul dari generalisasi selera daerah, misalnya
bahwa orang Jawa pasti suka makanan manis, dan arek Surabaya seneng yang
asin dan pedes. Kita juga dapat berkaca
pada kontroversi rendang yang kurang “crispy” di acara kompetisi masak di
Inggris pada tahun 2018, atau fenomena yang paling baru, dapat dilihat dari
kontroversi memasak nasi BBC Food yang dikomentari oleh komedian dengan nama
Nigel Ng yang menggunakan alter ego “Uncle Roger” di Youtube.
Maka dari itu, walau presentasi (design,
narasi, dll) sebuah produk dibuat sedemikian rupa indahnya, “lidah” lah yang
tetap menentukan. “Lidah” dalam konteks ini saya perluas tidak hanya perihal
rasa tetapi juga apa yang terjadi di dalam pikiran kita (entah kedekatan
emosional atau apalah), yang mungkin terwakilkan dengan istilah taste
(selera). Katanya iklan sebuah kecap, kalau yang namanya rasa itu tidak pernah
bohong. Mungkin benar, tapi, menurut saya, yang namanya selera (taste)
itu adalah produk pengalaman (pengetahuan) “lidah”. Rasa yang enak adalah
keniscayaan, tetapi selera adalah hal yang sangat berbeda. Maka dari itu,
selera kita pun, jangan-jangan, dipengaruhi pula oleh foodscape yang
kita duduki. Tidak hanya aliran yang bemula dari petani, produsen, dan penjual
serta kapital yang menaungi, tetapi dalam lingkup yang lebih mikro, yakni rumah
tangga – atau dengan siapa kita bergaul.
Apa yang kita suka, mungkin ada kaitannya
dengan pengalaman “rumah” – habitus dalam perspektif Bourdieu. Walaupun begitu,
Bourdieu juga mengungkapkan, orang itu juga punya modal reflexivity,
yakni kesanggupan seseorang individu dalam berpindah posisi. Misalnya, seorang
guru yang dapat memposisikan dirinya sebagai guru dan partner diskusi di kelas,
dan apabila setelah usai jam sekolah, dia dapat menempatkan diri sebagai
seorang teman curhat muridnya. Demikian juga dengan seorang penikmat kuliner,
yang bisa menikmati segala macam makanan. Tentu, dibalik reflexivitas tersebut
ada privilese berupa kemudahan akses – yang dipermudah oleh modal ekonomi, atau
modal sosial. Kedua modal tersebut memupuk subur modal budaya yang berupa
selera. Selera ini lantas sering dipakai sebagai bentuk distingsi seseorang,
alias memperkuat dominasinya atas kelas sosial yang lain.
Ruang pun dalam perspektif Bourdieusian bukan menjadi hal yang determinis, tetapi faktor agensi seseorang juga dapat membentuk ruang. Jadi pertanyaanya antara bagaimana sebuah struktur (ruang) membentuk seseorang, dan bagaimana seseorang membentuk struktur (ruang). Misalnya, banyakya toko oleh-oleh di kawasan pariwisata, tentu memengaruhi cara mengkonsumsi wisatawannya. Bisa jadi karena dominasi toko oleh2 tersebut, tempat2 yang biasanya menjual jajanan tradisional agak tertinggalkan. Hadirnya rumah makan cepat saji yang terjangkau seperti Rocket Chicken di sekitar Jl Godean pun, mengubah pola konsumsi masyarakat.
Sebagai catatan penutup, sah-sah saja apabila
kita tidak turut menikmati kudapan tertentu, tetapi setidaknya kita dapat
melatih rasa penasaran kita atas signifikansi artefak kebudayaan tersebut bagi
orang yang mengkonsumsi, mengolahnya, dan menjualnya. Klaim jajanan tradisional
kalah pamor dengan jajanan “modern” mungkin dapat sedikit kita patahkan karena klaim
tersebut cenderung berkaca dari kondisi masyarakat di kota besar seperti
Jakarta. Mungkin, memang jajanan tradisional agak sulit bersaing dalam konteks
perkotaan besar tersebut, tetapi dalam konteks mikro – rumah tangga dan pasar,
jajanan pasar tradisional masih ada. Ada baiknya pula apabila pelaku industri
kuliner UMKM dibantu oleh kemenparekraf dalam merintis produknya supaya
cakupannya lebih luas.
Kesadaran atas lanskap makanan/kuliner
menjadi modal utama bagi kita, yang saya asumsikan sebagai foodies,
untuk memperluas pengetahuan kita. “Mengkonsumsi” itu tidak hanya melihat dan
memakan makanannya saja, tetapi juga cerita yang menaunginya, kapital yang
bermain, sistem distribusi informasinya (melalui iklan apa? Apakah penjualannya
memanfaatkan medsos? Dijual di marketplace daring atau luring?). Maka, masuk
akal apabila salah satu poin yang menjadi bahan mentoring di program foodstartup
Indonesia adalah desain kemasan. Semakin menarik desain kemasannya, semakin
pas untuk dibeli sebagai buah tangan.
Permasalahannya, sosok kapital ini lah yang kadangkala
memainkan narasi yang memuat corak tradisional yang lekat dengan identitas
sebuah daerah, padahal tidak ada kaitannya dengan daerah tersebut. Tidak ada
masalah apabila narasi tersebut hadir secara organik sebagaimana yang terjadi
dengan produk kudapan seperti bakpia, bolu, dan onde-onde. Hal yang membuat
geli adalah strategi yang “meminjam” narasi daerah – atau malah bangsa - lain sebagai
strategi pemasaran. Asal ada modal ekonomi, seakan-akan sah-sah saja untuk melekat(-lekat)kan
bayang(-bayang)an identitas daerah tertentu.
Referensi bacaan:
Appadurai, Arjun (1981), “Gastro-politics
in Hindu South Asia”.
Appadurai, Arjun (1990), “Disjuncture
and Difference in the Global Cultural Economy”, Theory Culture Society,
DOI: 10.1177/026327690007002017
Appadurai, Arjun (1996). Modernity
at Large, Cultural Dimension of Globalization. Public Worlds, Volume 1,
University of Minnesota Press
Apicius, (1936). Cooking and
dining in Imperial Rome (c. 1st Century; J. D. Vehling, Trans.). Chicago,
IL: Springer
Benjamin, Walter. 2006,
“The Work of Arts in the Age of Mechanical Reproduction”, Kellner, Douglas
& Meenakshi Durham (ed), Media and Cultural Studies. Oxford:
Blackwell Publisher (Chapter 3)
Bildtgård, Torbjörn
(2009), “Mental Foodscapes: Where Swedes Would go to Eat Well (and Places they
Would Avoid)”, Food, Culture & Society, 12:4, 498–523.
Brembeck, Helene &
Barbro Johansson: “Foodscapes and Children’s Bodies”, Culture Unbound,
Volume 2, 2010: 797–818. Hosted by Linköping University Electronic Press: http://www.cultureunbound.ep.liu.se
Bourdieu, Pierre (1986). “The
Forms of Capital”. Handbook of Theory and Research for the Sociology of
Education. Westport, CT: Greenwood, hal. 241–58
Bourdieu, Pierre dan Louis
Wacquant (1992). An Invitation to Reflexive Sociology. Cambridge: Polity
Press
MacKendrick, Norah (2014).
“Foodscape”, Contexts, Vol. 13, No. 3, 2014: hal. 16-18, https://journals.sagepub.com/doi/pdf/10.1177/1536504214545754
McDonnel, Erin, M. 2016. “Food Porn: The Conspicuous Consumption of Food in the
Age of Digital Reproduction”, Peri Bradley (ed), Food, Media, and
Contemporary Culture, The Edible Image, hal. 239-265, New York, Palgrave MacMillan.
Ranteallo, I.C dan I.R Andilolo. 2017. Food Representation and Media: Experiencing
Culinary Tourism Through Foodgasm and Foodporn. Diambil dari Balancing Development and Sustainability in
Tourism Destinations, Springer Science+Business Media Singapore, DOI
10.1007/978-981-10-1718-6_13
Schirato, Tony & Jen Webb
(2002). “Bourdieu’s Notion of Reflexive Knowledge”. Social Semiotics,
Vol. 12, No. 3, hal. 255-268, DOI: 10.1080/10350330216373
Swartz, David (1997). Culture
and Power: The Sociology of Pierre Bourdieu. Chicago: The Chicago University
Press.
Spence, Charles, et at. 2016.
“Eating with Our Eyes; From visual hunger to digital satiation”, Brain and
Cognition Vol. 110, hal. 53-63. https://doi.org/10.1016/j.bandc.2015.08.006
https://www.bbc.com/travel/article/20180610-how-an-outrage-over-crispy-chicken-united-south-east-asia,
diakses 10 September 2021
Atribusi foto:
https://www.freepik.com/free-photo/good-looking-woman-standing-front-vegetable-shelves choosing-what-buy_11450434.htm
Komentar
Posting Komentar